Sisa Peninggalan Waduk Gajah Mungkur Saat Kemarau

7 komentar
Konten [Tampil]
Bagi masyarakat Solo dan sekitarnya, terutama Wonogiri, keberadaan Waduk Gajah Mungkur memang bukanlah hal yang asing lagi. Waduk dengan luas genangan maksimum sekitar 8.800 hektare ini memang bukan lagi sekadar waduk biasa, tetapi juga merupakan ikon dari Kabupaten Wonogiri.

Peninggalan Masa Lalu di Dasar Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri
Peninggalan Masa Lalu di Dasar Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri
Terletak sekitar enam kilometer di sebelah selatan Kota Wonogiri, Waduk Gajah Mungkur memang terbentang begitu luas. Bahkan jika dilihat dari ketinggian seperti dari SOKO GUNUNG, waduk ini seakan terlihat seperti lautan saking luasnya. Keberadaannya pun penting untuk sektor pertanian, perikanan, pembangkit listrik, hingga pariwisata.

Sejarah singkat Waduk Gajah Mungkur

Waduk Gajah Mungkur dibangun pada akhir tahun 1976 hingga 1984 yang memiliki fungsi utama sebagai pengendali debit air Sungai Bengawan Solo karena sebelumnya sungai tersebut kerap banjir sehingga menggenangi kota di sekitarnya seperti Kota Solo. Usai pembangunan selesai, waduk ini mulai beroperasi pada tahun 1982.
Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri
Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri
Pembangunan waduk ini harus menenggelamkan 51 desa dan sekitar tujuh kecamatan di Kabupaten Wonogiri, yakni Kecamatan Wonogiri, Kecamatan Ngadirojo, Kecamatan Giriwoyo, Kecamatan Nguntoronadi, Kecamatan Wuryantoro, Kecamatan Baturetno, dan Kecamatan Eromoko.
Peta Waduk Gajah Mungkur
Sekitar 67.515 jiwa yang terdampak pembangunan waduk direlokasi pemerintah melalui transmigrasi bedol desa pada 1976 ke berbagai daerah di Sumatra seperti Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, dan Sumatra Selatan. Namun menurut salah seorang warga sekitar, relokasi berlangsung hingga waduk diairi karena sebagaian tidak percaya rumahnya akan tergenang.

Peninggalan Masa Lalu di Waduk yang Surut: Nguntoronadi

Pada Hari Sabtu terakhir di Bulan September 2018, saya berkesempatan untuk menemukan kembali peninggalan masa lalu yang ada di Waduk Gajah Mungkur. Rasa penasaran saya disebabkan oleh berita di suatu media bahwa ada daerah permakaman yang muncul kembali karena air waduk yang surut di musim kemarau.

Solo-Nguntoronadi

Hampir di saat yang bersamaan, saya melihat postingan seseorang di media sosial bahwa kemarau menyebabkan puing jembatan kereta api Wonogiri-Baturetno kembali terlihat, tepatnya di Kecamatan Nguntoronadi. Saya pun memulai penelusuran sehingga bisa melakukan NAPAK TILAS JALUR KERETA API WONOGIRI-BATURETNO BAGIAN 2.

Namun ternyata peninggalan masa lalu yang bisa saya temukan tidak hanya puing jembatan kereta api saja. Saat melaju di semacam jalan setapak menuju pinggir waduk yang surut, saya melintasi jalan dengan sedikit lapisan aspal. Awalnya saya mengira jalan ini hanyalah jalan kampung yang sudah tidak terawat.
Jalan yang Dulunya Jalur Utama Wonogiri-Baturetno
Jalan yang Dulunya Jalur Utama Wonogiri-Baturetno
Saya sempat berhenti sebentar di warung tepi sawah untuk minum sekaligus mengobrol dengan warga. Dari obrolan tersebut, terkuaklah bahwa jalan dengan lapisan aspal itu dulunya merupakan jalan utama Wonogiri-Baturetno sebelum adanya Waduk Gajah Mungkur. Mereka bercerita bahwa truk hingga bus besar dulu lewat jalan ini.
Masih Ada Sisa Aspal
Usai berpamitan dan tidak lupa mengucapkan terima kasih, saya kembali melanjutkan perjalanan ke tepi waduk melalui jalan tersebut. Di samping kanan-kiri jalan tampak warga yang sedang menggarap sawahnya. Memang di musim kemarau, area waduk yang surut difungsikan warga sebagai area perswahan karena tanah endapannya yang subur.
Tepi Waduk Gajah Mungkur yang Surut
Saya pun akhirnya sampai di tepi waduk. Usai memarkir motor, saya dipanggil oleh seorang warga yang sedang bertani. Ternyata bapak itu mengira saya datang untuk memancing, sehingga ia memanggil saya untuk memberi tahu lokasi memancing yang banyak ikannya, yakni bagian tengah waduk.
Siang itu di Waduk Gajah Mungkur
Siang itu di Waduk Gajah Mungkur
Saya pun menjelaskan bahwa kedatangan saat itu adalah untuk mencari peninggalan masa lalu di waduk yang kering ini. Ternyata bapak itu saat kecil adalah saksi mata ketika kawasan waduk masih berupa perkampungan. Bahkan ia menjelaskan kalau tempat kami berpijak saat itu dulunya adalah kantor polisi.
Reruntuhan Bangunan di Waduk Gajah Mungkur
Reruntuhan Bangunan di Waduk Gajah Mungkur
Memang di sekitar tempat kami berdiri tampak susunan batuan yang tidak alami bagaikan reruntuhan masa lalu. Peninggalan yang paling jelas ialah bekas dinding bangunan dan juga tiang dan fondasi. Sementara itu masih tampak jelas bekas sumur warga yang bentuknya masih dapat dikenali.
Dulunya Sebuah Sumur di Kantor Polisi
Dulunya Sebuah Sumur di Kantor Polisi
Peninggalan masa lalu di Kecamatan Nguntoronadi ini bisa ditemukan dengan jelas. Tentu sangat terasa bedanya susunan batuan/bata yang memang buatan manusia dengan yang alami. Jika menyusuri tepian waduk yang kering menuju bekas jembatan kereta api, maka tampak bonggol-bonggol pohon kelapa yang masih awet hingga sekarang.
Fondasi Bangunan di Dasar Waduk Gajah Mungkur
Fondasi Bangunan di Dasar Waduk Gajah Mungkur
Usai menjelajah peninggalan di Nguntoronadi, saya pun memutuskan untuk menemukan peninggalan masa lalu Waduk Gajah Mungkur lebih banyak lagi di lokasi yang letaknya berseberangan dengan Kecamatan nguntoronadi, yakni di Kecamatan Wuryantoro yang membutuhkan waktu sekitar satu jam untuk sampai ke sana.

Makam Tua yang Muncul Kembali

Sekitar pukul 16.00 WIB, saya pun sampai di Kecamatan Wuryantoro. Perjalanan saya cukup lama karena sebelumnya saya mampir ke suatu tempat terlebih dahulu. Meski hari sudah sore, cuaca yang cerah saat itu membuat suasana di Wuryantoro masih begitu terang.

Nguntoronadi-Wuryantoro

Sebenarnya saya tidak tahu di mana letak bekas reruntuhan masa lalu di Kecamatan Wuryantoro ini. Saya hanya mengandalkan feeling yang mengatakan kalau rute jalannya ialah dari Pasar Wuryantoro ke selatan. Saya mengambil jalan yang berada di sisi timur Pasar Wuryantoro dan mengikutinya lurus ke selatan. 

Ternyata benar feeling saya karena tak lama kemudian kuda besi saya sudah melaju di area Waduk Gajah Mungkur yang mengering. Tujuan utama saya di sini pertama-tama adalah menemukan kompleks permakaman tua yang menurut beberapa kabar di media, kembali muncul akibat air waduk yang mengering.
Melewati Jalan Setapak di Pinggir Sawah
Awalnya saya tidak tahu di mana letak permakaman tersebut. Namun setelah mencari dan mengamati, saya melihat ada formasi bebatuan yang terlihat cukup mencolok. Perjalanan saya pun berlanjut dengan menyusuri jalan setapak menuju lokasi tersebut melalui jalan setapak dengan sawah di samping kanan dan kiri jalan.

Sama seperti di Nguntoronadi, area waduk yang mengering di Kecamatan Wuryantoro ini juga difungsikan warga menjadi lahan pertanian. Meski berada di tengah area persawahan, jalan setapak yang saya lalui dengan motor masih cukup padat, lebar, dan tidak becek. Saya masih mengandalkan feeling, meski beberapa kali menyapa warga setempat.
Sampai di Kompleks Permakaman Tua yang Muncul Kembali di Waduk Gajah Mungkur
Sampai di Kompleks Permakaman Tua yang Muncul Kembali di Waduk Gajah Mungkur
Syukur Alhamdulillahsaya pun bisa menemukan jalan menuju lokasi yang saya tuju. Dan meman benar kalau tempat yang terlihat seperti formasi bebatuan unik itu merupakan pemakaman masa lalu ketika wilayah ini masih merupakan permukiman masyarakat sebelum pembangunan Waduk Gajah Mungkur.
Makam Tua yang Tampak Kembali saat Waduk Gajah Mungkur Surut
Makam Tua yang Tampak Kembali saat Waduk Gajah Mungkur Surut
Saya mulai memarkir sepeda motor kemudian berjalan kaki untuk mencari tahu lebih dekat tentang makam tersebut. Seperti lazimnya makam-makam lainnya, masih tampak jelas batu-batu nisan yang masih berdiri kokoh, meski beberapa di antaranya sudah terkikis dan hancur karena selalu terendam air di musim penghujan oleh air waduk.
Nisan yang Masih Utuh
Bahkan beberapa batu nisan masih ada yang tulisan namanya masih terukir dengan jelas. Kompleks makam tua yang ada di Waduk Gajah Mungkur pun tidak hanya d tempat saya berada. Masih ada beberapa kompleks permakaman lainnya karena banyak perkampungan yang terdampak proyek pembangunan waduk dulunya.
Kompleks Makam Lain yang Muncul Ketika Waduk Gajah Mungkur Surut
Kompleks Makam Lain yang Muncul Ketika Waduk Gajah Mungkur Surut
Meski saya berada di area permakaman tua, suasananya tidak menyeramkan sama sekali. Sore yang cerah ditambah lalu-lalang masyarakat yang bertani membuat kondisi cukup ramai dan mendamaikan. Bahkan saat air waduk belum begitu surut, banyak orang yang memancing di area makam tua ini karena banyak ikannya.

Sore Hari Dasar Waduk Gajah Mungkur

Usai puas menjelajah area permakaman tua, saya pun berencana untuk kembali ke Pasar Wuryantoro. Ternyata di tengah perjalanan, tak jauh dari kompleks permakaman sebelumnya, tampak beberapa peninggalan permukiman di masa lalu, yakni beberapa sumur yang masih tegak berdiri.

Ketika memarkir motor, saya bertemu dengan seorang warga yang usianya cukup tua dan berbincang dengannya. Ia menjelaskan kalau memang benar dulunya di tempat kami berada saat itu merupakan permukiman dan merupakan dasar Waduk Gajah Mungkur ketika puncak musim penghujan seperti Januari atau Februari.
Sumur Warga di Masa Lalu
Ia juga membenarkan kalau bekas sumur-sumur yang masih berdiri tersebut merupakan bekas sumur warga di masa lalu sebelum menjadi waduk. Melalui obrolan ini pun saya menjadi tahu kalau transmigrasi bedhol desa tidak dilakukan serentak karena masih ada sebagian warga yang tidak mau pindah dan tidak percaya kalau air akan menggenangi rumahnya.
Di Antara Reruntuhan Masa Lalu Waduk Gajah Mungkur saat Kemarau
Di Antara Reruntuhan Masa Lalu Waduk Gajah Mungkur saat Kemarau
Hingga akhirnya saat waduk sudah diairi dan air mencapai perumahan, barulah mereka mau untuk dipindahkan. Ternyata tidak hanya perumahan warga saja yang terendam. Beberapa infrastruktur saat itu pun ikut terendam yang salah satunya merupakan jalan utama Wonogiri-Pracimantoro, tempat saya melintas tadi.
Dulunya Jembatan Penghubung Jalan Utama Wonogiri-Pracimantoro
Dulunya Jembatan Penghubung Jalan Utama Wonogiri-Pracimantoro
Menurut penjelasan beliau, ketinggian air waduk saat di puncak musim hujan yakni mencapai kawasan pepohonan di selilingnya. Bahkan menurut penjelasan warga yang saya temui, ketinggian air waduk di musim hujan tujuh meter dari bekas jalan utama Wonogiri-Pracimantoro.

Usai berpamitan, saya meneruskan perjalanan dan berhenti lagi di bekas jembatan utama Wonogiri-Pracimantoro. Jembatan tersebut masih berdiri dengan kokoh karena konstruksinya terbuat dari beton sehingga mampu bertahan dari kerusakan karena air waduk yang merendamnya di setiap musim hujan.
Bekas Jembatan Penghubung Jalan Utama Wonogiri-Pracimantoro yang Muncul Kembali
Bekas Jembatan Penghubung Jalan Utama Wonogiri-Pracimantoro yang Muncul Kembali
Selain jembatan, peninggalan bekas permukiman di masa lalu juga cukup banyak yang masih bisa ditemukan di sini. Sama seperti sebelumnya, kebanyakan peninggalan permukiman ialah berupa sumur dan fondasi bangunan. Tampak berserakan pula batu-batu yang dulunya merupakan bagian konstruksi bangunan.

Kembali ke Surakarta

Sore itu suasana begitu sejuk di tempat saya berpijak. Ternyata selain untuk bertani, banyak pula masyarakat sekitar yang turut menikmati suasana sore di tempat yang pada saat musim hujan menjadi dasar waduk ini. Panorama menawan ada di sebelah barat, ketika matahari oranye perlahan mulai tenggelam ditelan jajaran pegunungan kaki langit sebelah barat.
Sore Hari di Dasar Waduk Gajah Mungkur
Sore Hari di Dasar Waduk Gajah Mungkur
Sebelum suasana sepenuhnya gelap, saya pun kembali ke Surakarta. Dengan diiringi oleh lantunan adzan dari masjid-masjid sekitar, saya melaju melintasi jalan utama Wonogiri terus ke utara menuju Surakarta. Namun tentu saja saya tidak terus melaju, melainkan berhenti dulu untuk salat maghrib di masjid pinggir jalan.

Penelusuran saya untuk menemukan peninggalan masa lalu di Waduk Gajah Mungkur pun telah selesai. Syukur Alhamdulillah saya masih bisa menyaksikan beberapa peninggalan yang ada di sana. Entah sampai kapan peninggalan tersebut bisa terus disaksikan setiap kemarau, mengingat air Waduk Gajah Mungkur selalu menggenanginya ketika penghujan tiba.
Anggara Wikan Prasetya
Perkenalkan, Anggara Wikan Prasetya, pemilik Menggapai Angkasa.

Related Posts

7 komentar

Anonim mengatakan…
Kalau masih ada foto yang lain kirim lagi om, itu kampung halaman orang tua saya, saya sudah dilahirkan di sumatera, jadi penasaran saya seperti apa kampungnya dahulu (nama desanya ngumbul)... salam kenal..
Suraya mengatakan…
Setiap membaca kembali Kisah Waduh Gajah Mungkur seakan teriris hati ini. Demi untuk pembangunan dan memakmurkan rakyat yg lain, mereka rela meninggalkan kapung halaman bedol desa ke Sumatra dan kemana saja, karena kampung halaman tenggelam di dasar waduk. Gajah Mungkur daerah peninggalan Raden Mas Sahid ceritamu tak kan pernah berakhir..
nugi mengatakan…
Terima kasih. Kalau foto yang disebut sebelumnya ada rel kerta api kok ndak diupload? Tka.
Wanto cah selogiri mengatakan…
WONOGIRI SUKSES , SUKOHARJO MAKMUR
Wanto cah selogiri mengatakan…
Wonogiri sukses sukoharjo makmur
Anonim mengatakan…
Benar benar perjuangan semua warga... Meninggalkan kampung kelahiran.. Dan mengubur semua sejarah... Demi kebaikan bersama... WONOGIRI SUKSES... Nb:blog nya bagus mas... Semoga mas nya sehat selalu.
soedwiw@gmail.com mengatakan…
Cerita dan foto yang mengesankan; menggambarkan adanya pembangunan dengan implikasinya.