NAPAK TILAS JALUR KERETA API YOGYAKARTA - PALBAPANG

1 komentar
Konten [Tampil]
“Naik Kereta Api Tuut.. Tuut.. Tuut

Siapa hendak turut?

Ke Bandung – Surabaya

Bolehkah naik dengan percuma?

Ayo kawanku lekas naik

Keretaku tak berhenti lama”


Kereta Api Indonesia

Lirik lagu berjudul “Kereta Apiku” di atas mungkin masih sangat familiar di ingatan kita semua yang mana diajarkan dan sering kita nyanyikan pada saat Taman Kanak-Kanak dan Sekolah Dasar dahulu.

Lagu ciptaan Saridjah Niung Bintang Soedibio atau Ibu Soed yang mulai diperdengarkan di Radio Republik Indonesia (RRI) pada awal dekade-1960 ini tentunya seakan menggambarkan betapa menyenangkannya bepergian dengan menggunakan kereta api.

Ibu Sud
Sumber: http://bobo.kidnesia.com/Bobo/Info-Bobo/Bobo-File/Tentang-Ibu-Sud

Moda Kereta Api sendiri sudah sangat dikenal terutama di Pulau Jawa. Berita mengenai antrean panjang hingga tiket yang terjual habis senantiasa mewarnai layar kaca Tanah Air saat libur panjang. Hal tersebut menandakan bahwa moda kereta api memang menjadi primadona bagi mereka yang ingin melakukan perjalanan ke kota lain.


Sejarah Singkat Kereta Api Indonesia

Keberadaan kereta api di Indonesia dipengaruhi oleh penjajahan Belanda yang bercokol selama kurang lebih 3,5 abad. Pentingnya keberadaan kereta api mulai sangat dirasakan setelah Gubernur Jenderal saat itu; Johannes Van den Bosch memberlakukan tanam paksa pada tahun 1825 – 1830 yang menyebabkan perlunya sarana transportasi untuk mengangkut berbagai hasil bumi dari tanam paksa tersebut.

Johannes Van den Bosch

Hadirnya kereta api di Indonesia dimulai pada hari Jumat tanggal 17 Juni 1864 dengan pencangkulan pertama pembangunan jalan kereta api oleh Gubernur Jenderal saat itu Mr. L.A.J Baron Sloet van den Beele di Desa Kemijen. Pembangunan jalur pertama ini diprakarsai oleh "Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij" (NIS), di bawah pimpinan Ir. J.P de Bordes dari Desa Kemijen menuju Desa Tanggung (26 Km) dengan lebar 1435 mm. Ruas jalan ini dibuka untuk angkutan umum pada hari Sabtu, 10 Agustus 1867.


Mr. L.A.J Baron Sloet van den Beele

Perkembangan perkeretaapian di Indonesia semakin pesat tahun – tahun setelahnya. Hanya dalam waktu 3 tahun atau pada tahun 1870 ruas jalur kereta api di Indonesia bertambah 84 km sehingga menjadi 110 km. Bahkan pada tahun 1900 panjang ruas jalur kereta api mencapai 3338 km.

Pengelolaan kereta api oleh Bangsa Indonesia sendiri dimulai pada tanggal 28 September 1945, usai kemerdekaan. Pembacaan pernyataan sikap oleh Ismangil dan sejumlah anggota AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) lainnya, menegaskan bahwa mulai tanggal 28 September 1945 kekuasaan perkeretaapian berada di tangan bangsa Indonesia serta dibentuknya operator pertama yaitu DKARI (Djawatan Kereta Api Republik Indonesia). Peristiwa tersebut menyebabkan diperingatinya Hari Kereta Api Indonesia setiap tanggal 28 September.


Masa Kemunduran

Perkeretaapian Indonesia sempat mengalami kemunduran pada periode PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) dekade 1970 hingga awal dekade 1990. Banyak jalur lintas cabang yang ditutup karena dianggp tidak mendatangkan keuntungan. Kerugian yang dialami PJKA saat itu antara lain disebabkan oleh banyaknya penumpang gelap, kerusakan lokomotif dan prasarana kereta api, hingga kalah bersaingnya kereta api dengan mobil pribadi.


Berawal dari Peta Lawas

ES (Entry Starter) sendiri merupakan penggemar kereta api. Sejak kecil saya sering diajak oleh Almarhum ibu untuk bepergian dengan kereta api khususnya jurusan Solo - Yogyakarta. Kegemaran saya akan kereta api tidak hanya membuat senang dengan naik kereta api saja, tetapi saya juga sering mencari tahu jalur – jalur kereta api yang ada di ATLAS yang dibeli saat masa sekolah dasar tahun 1998 silam.

ATLAS yang saya miliki dahulu ternyata memuat informasi mengenai jalur – jalur kereta api yang sudah tidak lagi digunakan di peta. Berbeda dengan ATLAS sekarang yang mana jalur kereta api yang sudah tidak lagi digunakan dihilangkan dari peta.

Keingintahuan saya dimulai dari membaca ATLAS tersebut, terutama usai mengetahui bahwa ada banyak jalur yang tidak lagi digunakan atau disebut jalur mati. Beberapa jalur yang tidak lagi digunakan tersebut antara lain adalah:

  • Jalur Semarang – Kudus
  • Jalur Banjar – Cijulang (Pangandaran)
  • Jalur Yogyakarta – Secang
  • Jalur Yogyakarta – Palbapang


Dan masih ada banyak lagi jalur mati yang tersebar, bersembunyi dan terlupakan di bawah tanah Pulau Jawa, sebagai saksi bisu masa kejayaan perkeretaapian di Indonesia pada masa silam.


Napak Tilas Pertama

Suatu pagi di hari Selasa, tanggal 10 Mei 2016. Hari itu saya memulai napak tilas pertama yaitu menelusuri jalur mati Yogyakarta – Palbapang yang letaknya di sekitar domisili saya. Sebenarnya sudah lama ada niat untuk melakukan napak tilas jalur mati, akan tetapi karena berbagai kesibukan saya baru bisa melakukannya pada tanggal tersebut.

Jalur Kereta Api di Yogyakarta 1933 berupa garis hitam

Tentu sebelum memulai kegiatan napak tilas tersebut, saya terlebih dahulu mencari informasi mengenai jalur tersebut. Syukur Alhamdulillah saya menemukan blog yang penulisnya juga melakukan kegiatan blusukan jalur mati kereta api di Pulau Jawa. Blog yang ditulis oleh Prima Utama tersebut sangat informatif dan inspiratif sehingga saya jadikan referensi untuk napak tilas jalur mati.


Jalur Yogyakarta – Palbapang mulai dioperasikan pada tahun 1895. Setelah beroperasi kurang lebih selama 78 tahuh, jalur ini ditutup oleh PJKA karena kalah bersaing dengan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum lainnya.


Stasiun Tugu


Stasiun Tugu Yogyakarta

Pagi itu cuaca cukup cerah di Yogyakarta saat saya akan memulai perjalanan napak tilasnya. Waktu menunjukkan sekitar pukul 08.30 WIB; masih belum terlalu panas untuk melakukan perjalanan. Napat tilas kali ini saya mulai dari stasiun Tugu yang merupakan stasiun besar yang berdiri megah di tengah Yogyakarta.

Stasiun Tugu Tahun 1890

Berdasarkan peta zaman kolonial tahun 1933 yang saya gunakan, ada jalur yang mengarah tepat ke sisi selatan stasiun tugu pada masa itu. Sementara sekarang yang ada hanya jalur ke arah barat daya menuju Wates. Penelusuran pertama saya dimulai dari sisi selatan Stasiun Tugu sepanjang Jalan Pasar Kembang terus sampai Jalan Jlagran Lor. Tidak ada rel yang berbelok ke arah selatan di sepanjang jalan yang mengarah ke barat ini.

Stasiun Tugu 1890

Terus ke barat, saya sampai di sebuah perempatan. Arah kiri atau selatan adalah yang saya ambil di perempatan ini memasuki Jalan Letjen Suprapto. Sisa – sisa keberadaan jalur kereta api seakan sudah lenyap sepanjang dari perempatan hingga beberapa kilometer ke arah selatan Jalan Letjen Suprapto.

Stasiun Tugu 1935

Barulah tanda keberadaan jalur kereta api saya temukan saat melintasi timur Cavinton Hotel Yogyakarta. Terdapat sebuah tiang dari rel kereta api yang menancap di atas trotoar sisi barat.

Tiang Bekas Rel

Terdapat sebuah perempatan yang cukup besar di sebelah selatan tempat saya menemukan tiang tersebut, yaitu perempatan parkir Ngabean. Dinamakan demikian karena terdapat sebuah tempat parkir besar bus pariwisata untuk wisatawan yang akan berkunjung ke Malioboro. Saya menyebrangi perempatan tersebut ke arah selatan memasuki Jalan KH. Wahid Hasyim. Sebelum meneruskan perjalanan ke arah selatan, terlebih dahulu saya memeriksa kawasan Parkir Ngabean karena menurut informasi yang saya dapatkan, terdapat lokasi bekas Stasiun Ngabean di sini.

Parkir Ngabean


Stasiun Ngabean

Benar saja, tepat di sisi barat jalan utama tampak bangunan lawas mirip stasiun kereta api yang berdiri. Saya pun segera memeriksanya, ternyata bangunan tersebut memang bekas Stasiun Ngabean.

Stasiun Ngabean

Keyakinan yang mendasari saya adalah adanya nama Ngabean di bangunan tersebut beserta informasi ketinggian stasiun yaitu 100 meter yang lazim terdapat di sebuah stasiun. Rel lengkap dengan bantalannya yang berada di depan emplasemen stasiun pun masih ada beserta roda kereta sebagai pengingat bahwa dulunya ada kereta api aktif yang beroperasi di Stasiun Ngabean ini. Sekarang Stasiun Ngabean menjadi kantor sekretariat Forum Komunikasi Kawasan Ngabean (FKKN) Yogyakarta.

Nama Stasiun Ngabean

Rel Kereta Api

Stasiun Ngabean dibuka pada tahun 1895. Sebenarnya stasiun ini dulunya merupakan percabangan jalur menuju Bantul – Palbapang hingga Sewugalur dan jalur menuju Kotagede hingga Pundong

Roda Sepur

Emplasemen Stasiun Ngabean

Sayangnya jalur menuju Kotagede hingga Pundong sudah tidak lagi tersisa karena pada masa pendudukan Jepang jalur ini dipereteli untuk pembangunan jalur kereta api romusha di Saketi dan Bayah; Provinsi Banten.


Stasiun Dongkelan

ES terus bergerak ke arah selatan menyusuri Jalan KH. Wahid Hasyim. Hanya sekitar 100 meter dari stasiun Ngabean, saya menemukan beberapa peninggalan infrastruktur kereta api di masa lalu. Sebuah bekas tiang listrik dari rel kereta api adalah yang pertama kali saya temukan, disusul dengan bekas sinyal kereta api di depan kantor Kecamatan Ngampilan dan satu lagi dekat jajaran warung di selatan kantor kecamatan tersebut. Letak tanda -  tanda tersebut cukup tersembunyi di rimbunnya pepohonan sehingga memerlukan kejelian mata untuk menemukannya.

Tiang Rel

Bekas Sinyal Depan Kantor Kecamatan Ngampilan

Kantor Kecamatan Ngampilan

Sinyal di Rimbun Pepohonan

Usai melewati satu perempatan lagi, saya memasuki Jalan Suryowijayan. Peninggalan infrastruktur kereta api yang saya temukan ada di tengah – tengah Pasar Taman Sari di sisi barat jalan. Peninggalan yang saya temukan adalah berupa rel kereta api yang sebagian besar sudah tertimbun semen di tengah – tengah Pasar Taman Sari.

Sisa Rel di Pasar Taman Sari

Terdapat satu lagi perempatan yang saya seberangi sehingga saya mulai memasuki Jalan Bantul. Bekas peninggalan kereta api bisa disaksikan cukup jelas di Jalan Bantul ini yaitu berupa rel kereta di sebelah sisi barat jalan. Tentu saja keberadaan rel tersebut sebagian sudah terkubur di dalam tanah atau aspal.

Siasa Rel di Jalan Bantul

Menjelang Jalan Ring Road Selatan atau tepatnya di depan Pasar Satwa dan Taman Hias Yogyakarta (Pasty), terdapat sebuah bangunan memanjang dengan arsitektur lawas. Bangunan yang terletak persis di sisi barat Jalan Bantul tersebut tak lain lagi adalah Stasiun Dongkelan yang kini menjadi Restoran Ayam Kremes Kalasan.

 Stasiun Dongkelan

Stasiun Dongkelan sendiri tidak begitu besar. Sekitar tahun 1912 stasiun ini berupa halte kecil tempat pemberhentian kereta – kereta api uap yang melayani rute Yogyakarta hingga Palbapang. Masa kejayaan stasiun ini juga berakhir sama seperti stasiun Ngabean yaitu pada tahun 1973 saat PJKA menutup jalur Yogyakarta – Palbapang. Saat ini bangunan Stasiun Dongkelan hanyalah berupa replika, sementara bangunan aslinya telah ludes terbakar di masa lampau.


Stasiun Winogo

Perjalanan saya berlanjut ke arah selatan menyeberangi Jalan Ring Road Selatan, masih menginkuti Jalan Bantul. Sama seperti sebelumnya, sisa peninggalan kereta api berupa rel masih sering kali saya temui di sisi barat Jalan Bantul. Usai berjalan beberapa kilometer bekas jalur kereta api tersebut seakan berbelok ke arah barat masuk perkampungan, meskipun tidak begitu jelas. Saya kemudian mengikuti jalur tersebut

Belok Masuk Gang ini

Rute selanjutnya tidak berada di Jalan Bantul lagi, melainkan menyusuri jalan kampung. Entah mengapa saya yakin kalau jalur kereta apinya dahulu melewati area ini. Benar saja, usai terus mengikuti jalan kampung tersebut, saya sampai di Jembatan WInogo yang dulunya adalah jembatan kereta api. Jembatan ini sudah disemen sehingga bisa untuk dilalui oleh motor, tetapi bantalan rel masih ada di bawah semen tersebut sehingga bisa dipastikan dulunya adalah jembatan kereta api.

Jembatan Winogo

Tak lama setelah melewati Jembatan Winogo, sampailah saya di Stasiun Winogo. Bangunan stasiun ini cukup kontras dengan arsitektur lawasnya; berbeda dengan bangunan – bangunan di sekitarnya sehingga keberadaannya cukup mencolok. 

Stasiun Winogo

Stasiun Winogo terletak tak jauh dari Pabrik Gula Madukismo sehingga dahulu ada jalur terhubung ke pabrik tersebut untuk distribusi gula. Stasiun ini ditutup oleh PJKA pada tahun 1973 dan Stasiun Winogo kini dimanfaatkan sebagai balai pertemuan karang taruna masyarakat setempat
.
Kembali ke Jalan Bantul

Stasiun Cepit

Motor saya kembali melanjutkan perjalanannya ke arah selatan. Kali ini saya bertemu lagi dengan Jalan Bantul dan kembali menyusurinya. Sama seperti sebelumnya, sisia rel kereta api masih bisa dilihat di sisi barat Jalan Bantul. Stasiun selanjutnya berdasarkan informasi yang saya dapatkan adalah Stasiun Cepit.

Pertigaan Cepit

Sayangnya keberadaan Stasiun Cepit sudah tidak berbekas sama sekali. Lokasi di mana dahulunya pernah berdiri Stasiun Cepit diduga ada di sebelah utara pos polisi di pertigaan Cepit. Saya mencoba untuk sekedar mencari sisa keberadaan Stasiun Cepit, tetapi memang sudah tidak ada lagi sisa mengenai keberadaannya. Saya hanya menemukan besi dicat biru yang tertimbun tanah, mungkinkah dahulu di sinilah letak Stasiun Cepit..??

Bekas Stasiun???


Stasiun Bantul

Selanjutnya saya pun memasuki Kota Bantul. Sisa rel kereta api yang sebelumnya cukup sering muncul di pinggir jalan seakan hilang tak berbekas. Kemungkinan sudah dihilangkan untuk penataan kota. Menurut informasi yang saya peroleh, Stasiun Bantul terletak dekat dengan Pasar Bantul sehingga otomatis menjadi tujuan saya selanjuttnya.

Sesampainya di Pasar Bantul, tidak ada tanda – tanda stasiun sehingga saya berinisiatif untuk bertanya kepada orang yang sudah tua. Inisiatif saya karena kemungkinan besar orang yang sudah tua pernah menjadi saksi masa kejayaan kereta api yang pernah beroperasi dari Yogyakarta sampai Palbapang. Syukurlah yang saya lakukan tepat karena seseorang yang usianya sudah cukup tua memberi tahu letak Stasiun Bantul tersebut. Letak Stasiun Bantul ternyata ada di sisi timur jalan utama sekitar 100 meter sebelah selatan Pasar Bantul.

Stasiun Bantul

Sisi Belakang Stasiun Bantul

Syukurlah akhirnya saya menemukan Stasiun Bantul. Saat mengunjunginya, bagian atas stasiun ini  dicat dengan warna kuning. Keberadaan Stasiun Bantul sekarang dimanfaatkan sebagai bengkel setelah ditutup pada tahun 1973 oleh PJKA. Tidak ada lagi sisa rel dan sinyal satu pun di sekitar bangunan stasiun.


Stasiun Palbapang

Perjalanan saya berlanjut menuju stasiun terakhir jalur kereta api Yogyakarta – Palbapang. saya terus ke selatan; dari Kota Bantul menyusuri Jalan KH. Wahid Hasyim hingga sampai ke perempatan Samas. Kanan atau barat adalah arah yang saya ambil di perempatan ini menyusuri Jalan Srandakan. Sekitar 200 meter kemudian sampailah saya di Terminal Palbapang.

Stasiun Palbapang

Peresmian

Stasiun Palbapang

Memang terminal adalah tempat pemberhentian bus termasuk Terminal Palbapang, akan tetapi dulunya terminal ini adalh sebuah stasiun; Stasiun Palbapang atau Paal Bapang dalam bahasa Belandanya. Bagian utama bangunan stasiun berada tepat di sisi utara atau kanan Jalan Srandakan dengan arsitektur lawas khas stasiunnya. Sebenarnya jalur kereta api berlanjut hingga Sewugalur di Kabupaten Kulon Progo, tetapi pada zaman Jepang jalurnya dipereteli untuk pembangunan jalur kereta api di Bayah, Provinsi Banten dan sepanjang jalur Muaro – Pekanbaru di Provinsi Riau.

Bekas Sambungan Rel

Roda

Pipa

Tidak ada lagi peninggalan kereta api berupa rel dan sinyal di sini selain bangunan utama stasiun yang sudah berubah menjadi terminal. Hanya ada potongan rel, pipa besi tua, dan roda yang dijadikan monumen kecil di tengah taman Terminal Palbapang.

Stasiun Palbapang 1896

Epilogue

Syukur Alhamdulillah perjalanan napak tilas saya pertama ini sukses. Sungguh sangat disayangkan matinya banyak jalur kereta api salah satunya yang menghubungkan antara Yogyakarta hingga Palbapang. Andai saja dahulu pihak yang berwajib berpikiran jauh ke depan, tentunya jalur ini tidak akan dibiarkan mati dan terlupakan begitu saja mengingat masalah kemacetan yang terjadi di berbagai tempat sekarang karena terlalu banyaknya penggunaan kendaraan pribadi.

Memang ada rencana pemerintah untuk menghidupkan kembali jalur – jalur mati yang ada untuk menghilangkan masalah kemacetan yang semakin tahun semakin parah. Saya tentunya berharap rencana pemerintah tersebut bisa terwujud sehingga akses kereta api semakin menjangkau banyak tempat dan bisa mengurangi masalah kemacetan di negeri ini.. Aamiin
Anggara Wikan Prasetya
Perkenalkan, Anggara Wikan Prasetya, pemilik Menggapai Angkasa.

Related Posts

1 komentar

nbsusanto mengatakan…
apik mas!
saya sebagai orang bantul pengen bikin artikel beginian tapi belum kesampaian.. padahal sebelum merantau, hampir setiap hari lewat jalur srandakan - palbapang - yogyakarta yang dulunya memang jalur kereta api.. beberapa kali juga ke terminal (eks stasiun) palbapang.. kadang sambil membayangkan betapa syahdunya kalau masih beroperasi..
tapi momen yang paling saya sesali saat perbaikan jalan bantul kemarin dimana bongkar median pemisah jalur lambat dengan jalur cepat, di bawahnya terlihat jelas ada rel kereta api.. sayangnya nggak bawa hp karena sedang dicas, apalagi kamera.. di saat lewat berikutnya sudah terkubur oleh aspal baru.. padahal priceless moment itu.. :(