Konten [Tampil]
Postingan kali ini kembali berhubungan dengan
Kerajaan Mataram Islam. Sebelumnya memang sudah ada entry mengenai KERAJAAN MATARAM ISLAM, akan tetapi kali ini saya mendapat kesempatan untuk melakukan
napak tilas ke situs-situs bersejarah kerajaan tersebut. Acara yang saya ikuti
kali ini berjudul Jelajah Peradaban Mataram Islam yang diadakan oleh Komunitas Malam Museum. Acara yang dilaksanakan terdiri dari beberapa rangkaian acara di
hari berbeda. Acara Jelajah Peradaban Mataram Islam yang pertama diadakan pada
Hari Sabtu tanggal 14 Oktober 2017 dengan tujuan Kotagede-Kerto-Pleret.
Situs Peninggalan Mataram Islam di Kotagede |
Menuju Titik Awal Mataram Islam
Pagi itu langit
Yogyakarta tidak begitu cerah. Awan hitam terlihat di sisi selatan yang tak
lama lagi akan bergerak ke arah utara karena tiupan angin. Cuaca yang kurang
baik tidak menyurutkan semangat para peserta Jelajah Peradaban Mataram hari
pertama ini. Para peserta sudah bersiap untuk berangkat menjelang waktu
keberangkatan yang telah dijadwalkan oleh panitia.
Daftar Ulang Peserta Jelajah Peradaban Mataram Islam |
Rombongan bertolak dari titik kumpul di
Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada pada pukul 07.45 WIB. Sebelumnya
peserta diminta oleh panitia untuk melakukan daftar ulang dan briefing singkat
sebelum berangkat. Total ada 3 bus yang akan membawa rombongan ke tujuannya.
Tujuan pertama kami di Hari Sabtu ini adalah Situs Kotagede. Kondisi
lalu-lintas pada Sabtu Pagi pun cukup baik sehingga perjalanan kami menuju
Kotagede begitu lancar.
Briefing Sebelum Berangkat oleh Bung @Erwindeje dari @Malamuseum |
Mangkat |
Sekitar pukul 09.00 WIB rombongan telah sampai
di tempat pemberhentian bus dan kemudian segera akan memulai perjalanan
menjelajahi situs-situs Mataram Islam di Kotagede. Kami disambut oleh Komunitas
Kotagede Heritage Trail yang akan menjadi pemandu saat kami menjelajah Kotagede
nanti. Pertama-tama kami dibawa ke sebuah bangunan joglo yang menjadi titik
kumpul kami di Kotagede. Perjalanan kami menuju titik kumpul tersebut melewati
jalan-jalan sempit dan cukup banyak terdapat belokan sehingga kami tidak boleh
sampai tertinggal karena bisa saja tersesat.
Menyusuri Jalan Kampung |
Menjelang sampai di titik kumpul, hujan
tiba-tiba turun cukup deras sehingga membuat rombongan mulai menggunakan payung
atau jas hujan untuk berlindung dari hujan. Kami tetap berjalan di bawah
guyuran hujan. Ingin tetap berfikiran positif; setidaknya hujan yang turun kali
ini membuat suhu udara tidak terlalu panas sehingga kami bisa menghemat tenaga
untuk berjalan nanti.
Di Bawah Guyuran Hujan |
Menjelang Sampai Joglo |
Tak butuh waktu lama bagi kami untuk sampai di
titik kumpul tersebut. Peserta langsung dipersilakan duduk di joglo untuk
kembali mendapatkan briefing dari panitia sebelum menjelajah Kotagede.
Banyaknya jumlah peserta membuat kami dibagi menjadi tiga kelompok oleh panitia
berdasarkan bus yang kami gunakan. Masing-masing kelompok akan dipandu oleh
perwakilan dari Komunitas Kotagede Heritage Trail yang akan menunjukkan jalan
dan menjelaskan kepada kami seputar sejarah Kerajaan Mataram Islam di Kotagede
ini.
Briefing Lagi |
Sebelum berangkat, kami juga mendapatkan
penjelasan terlebih dahulu mengenai awal mula Kerajaan Mataram Islam yang lahir
di kawasan kami berada saat itu. Salah satu dari panitia yang juga anggota dari
Komunitas Malam Museum yaitu Bung Erwin menjelaskan kepada kami dengan seksama
mengenai sejarah dari awal mula Kerajaan Mataram Islam tersebut. Menurut
berbagai sumber tepercaya yang salah satunya adalah Babad Tanah Jawi, lahirnya Kerajaan Mataram Islam bermula saat Sultan
Hadiwijaya atau Joko Tingkir memindahkan pusat kerajaan dari Demak ke Pajang
dan mendirikan Kerajaan Pajang.
Sejarah Mataram oleh Bung @Erwindeje dari @Malamuseum |
Kotagede; Awal Mula Mataram Islamru
Ketika itu Sultan
Hadiwijaya memiliki musuh yang tangguh bernama Arya Penangsang. Joko Tingkir
kemudian mengadakan sayembara bahwa siapa saja yang berhasil mengalahkan Arya
Penangsang, maka dia akan diberi imbalan yang besar. Maka kemudian majulah Ki
Ageng Pemanahan bersama saudaranya Ki Ageng Penjawi untuk melawan Arya
Penangsang. Singkat cerita Arya Penangsang yang sakti tersebut akhirnya
berhasil dikalahkan.
Sebenarnya yang berhasil mengalahkan Arya
Penangsang adalah Sutawijaya; anak dari Ki Ageng Pemanahan. Akan tetapi Ki
Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Penjawi melapor bahwa merekalah yang berhasil
mengalahkan Arya Penangsang. Hal tersebut dilakukan karena saat itu Sutawijaya
masih begitu muda sehingga imbalan yang dia terima tidak akan terlalu besar.
Oleh karena itu imbalan akhirnya diterima oleh mereka berdua. Ki Ageng Penjawi
mendapatkan wilayah di daerah Pati, sementara Ki Ageng Pemanahan mendapat
wilayah di daerah Mataram. Wilayah-wilayah tersebut tentunya masih berada di
dalam kekuasaan Kerajaan Pajang.
Ki Ageng Pemanahan Sumber: http://rumahfinia36.blogspot.co.id/2015/05/ki-ageng-pamanahan-dan-cikal-bakal.html |
Wilayah Mataram sendiri dahulu merupakan kawasan
hutan Mentaok. Perlu waktu 7 tahun bagi Ki Ageng Pemanagan untuk bisa membuka
kawasan Hutan Mentaok tersebut karena kekhawatiran Sultan Hadiwijaya akan
ramalan yang mengatakan bahwa kelak di daerah Mataram akan berdiri sebuah kerajaan
yang lebih besar dari Pajang. Akhirnya Ki Ageng Pemanahan bisa membuka Hutan
Mentaok setelah adanya upaya mediasi dari Sunan Kalijaga.
Pohon Mentaok |
Ki Ageng Pemanahan juga menyatakan sumpahnya
untuk tetap setia dengan Pajang. Mulai dari sinilah kisah Kerajaan Mataram
Islam dimulai, meski masih dalam kekuasaan Kerajaan Pajang. Menurut cerita
masyarakat Kotagede, nama Mataram berasal dari kata Mentaok Arum karena Pohon
Mentaok memiliki bagian yang harum. Mentaok Arum kemudian disingkat menjadi
Metarum dan akhirnya menjadi Mataram.
Berdirinya Mataram Islam
Ki Ageng Pemanagan
wafat pada tahun 1584 dan digantikan oleh anaknya yaitu Sutawijaya. Usaha untuk
memerdekakan Mataram dari Pajang pun dimulai dengan tidak bersedianya
Sutawijaya untuk menghadap Sultan Hadiwijaya di Pajang. Peperangan antara
Pajang dan Mataram juga sempat terjadi karena Sutawijaya berusaha menyelamatkan
Tumenggung Mayang (suami adik Sutawijaya) yang hendak menjalani hukuman dibuang
di Semarang. Tumenggung Mayang bersalah karena turut membantu anaknya yaitu
Raden Pabelan untuk menyusup ke dalam keputren dan menggoda Ratu Sekar Kedaton
(putri bungsu Sultan Hadiwijaya), sementara Raden Pabelan sendiri dihukum mati.
Pertempuran antara Pajang melawan Mataram tersebut dimenangkan oleh Mataram dan
berhasil memukul mundur pasukan Pajang yang jumlahnya lebih banyak. Sultan
Hadiwijaya wafat tak lama setelah pertempuran tersebut karena sakit.
Bendera Mataram Islam Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Flag_of_the_Sultanate_of_Mataram.svg |
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya, Pangeran Benawa
naik tahta menjadi Raja Pajang. Saat itu terjadi pemberontakan oleh Arya Pangiri
(menantu Sultan Hadiwijaya); Adipati Demak yang juga didukung oleh Panembahan
Kudus. Pangeran Benawa kemudian bersekutu dengan Mataram untuk mengalahkan Arya
Pangiri karena pemerintahannya yang menyengsarakan rakyat Pajang. Arya Pangiri
akhirnya dapat dikalahkan dan Pangeran Benawa kembali naik tahta sebagai Raja
Pajang karena Sutawijaya menolak penawarannya untuk menjadi raja. Pangeran
Benawa wafat pada tahun 1587 dan sebelum meninggal berwasiat agar
sepeninggalnya Pajang digabungkan dengan Mataram dengan Sutawijaya sebagai
rajanya.
Danang Sutawijaya atau Panembahan Senopati Sumber: http://iyakan.com/perang-saudara-jawa/3576 |
Sutawijaya kemudian naik tahta menjadi raja
pertama Mataram dengan gelar Panembahan Senopati yang sekaligus juga merupakan saat berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Pajang yang semula merupakan kerajaan kemudian
berubah menjadi daerah kekuasaan Kerajaan Mataram Islam. Ibu kota Kerajaan
Mataram Islam saat itu berada di kotagede. Sutawijaya menggunakan panembahan
sebagai gelar dan tidak menggunakan gelar sultan adalah untuk menghormati
Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa.
Situs Bokong Semar
Penjelasan Mas Erwin
mengenai awal mula Kerajaan Mataram Islam pun selesai. Kini saatnya kami untuk
mengunjungi situs-situs peninggalan Kerajaan Mataram Islam yang ada di
Kotagede. Kelompok satu bus saya akan memulai penelusuran dari situs paling selatan
yang dinamakan “Bokong Semar”. Kami mulai berjalan dengan didampingi oleh
pemandu dari Komunitas Kotagede Heritage Trail. Perjalanan kelompok saya yang mengenakan co-card kuning ini dipandu oleh Mbak Upik.
Mbak Upik; Pemandu dari @Kotagedeheritagetrail |
Menyusuri Lorong Kampung |
Setelah cukup lama berjalan melewati jalan
perkampungan, akhirnya kami sampai juga di situs Bokong Semar. Situs ini tidak
berwujud seperti namanya, akan tetapi wujudnya berupa tembok yang melengkung.
Lengkungan tersebut diibaratkan oleh masyarakat seperti bokong sehingga dinamai
Situs Bokong Semar. Situs ini berbentuk dinding yang sudah tidak lagi utuh yang
dulunya merupakan kesatuan dari Benteng Cepuri Kotagede.
Situs Bokong Semar |
Dulunya dinding ini merupakan dinding yang
mengitari bagian dalam keraton yang berada di wilayah lebih tinggi dari
sekitarnya. Kini hanya ada beberapa bagian dinding saja yang tersisa dan sebagian besar dinding sudah menghilang. Sementara situs yang kami kunjungi
saat itu sudah menjadi cagar budaya serta sudah mengalami perbaikan untuk
menjaganya agar tidak hancur sehingga dapat menjadi pengingat akan masa awal
Kerajaan Mataram Islam.
Usai mengunjungi Situs Bokong Semar, perjalanan
kami kembali berlanjut ke situs selanjutnya. Perjalanan kami kembali melewati perkampungan
penduduk dan jalan-jalan kecil. Pertanyaan-pertanyaan mulai muncul di benak
saya saat itu “Bukanlah dahulu tempat ini merupakan sebuah keraton di pusat
sebuah kerajaan? Lalu mengapa Bangunan utama keraton tidak lagi ada dan di
sekitarnya berubah menjadi perkampungan penduduk?”
Keraton yang Sudah Berubah Menjadi Perkampungan |
Batu Gilang, Batu Gatheng, dan Batu Genthong
Kami terus berjalan
menuju situs peninggalan Kerajaan Mataram Islam selanjutnya. Kami pun tiba di
sebuah tempat yang terdapat 3 situs sekaligus. Menurut tulisan yang tertera, situs
ini adalah Batu Gilang, Batu Gatheng, dan Batu Genthong. Ketiganya berada dalam
sebuah bangunan kecil yang letaknya ada di tengah jalan dengan lalu-lalang
kendaraannya. Jika ingin masuk ke dalam bangunan tersebut, kami harus
didampingi oleh juru kuncinya.
Di Sini Dulunya Singgasana Keraton Kotagede |
Kami pun masuk ke dalam bangunan tersebut dengan
ditemani oleh juru kunci yang juga menjelaskan sejarah mengenai ketiga situs
tersebut. Situs pertama yaitu Batu Gilang ternyata dulunya adalah singgasana
Panembahan Senopati yang terbuat dari batu meteor. Benar-benar tidak bisa
dibayangkan bahwa bangunan di tengah jalan ini dulunya merupakan sebuah
singgasana raja salah satu kerajaan terbesar di Pulau Jawa.
Juru Kunci yang Menjelaskan Sejarah Keraton Kotagede |
Terdapat sebuah lekukan di salah satu sisi dari
Watu Gilang yang konon merupakan tempat bekas dibenturkannya kepala Ki Ageng
Mangir oleh Panembahan Senopati karena dianggap membangkang. Menurut juru
kunci, pada malam-malam tertentu banyak peziarah yang berdoa di situs Watu
Gilang untuk melancarkan hajatnya. Tentunya tetap saja doa dan permintaan
ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Juru kunci juga bercerita bahwa
semenjak raja kelima Mataram Islam yaitu Amangkurat I memindahkan keraton dari
Kerto ke Pleret, Keraton Kotagede menjadi kosong dan tidak terurus sehingga
mulai berubah menjadi permukiman penduduk seperti sekarang ini.
Bagian Bekas Ki Ageng Mangir Dibenturka Kepalanya oleh Panembahan Senopati |
Selanjutnya di dekat pintu keluar masuk,
tepatnya di sisi selatan terdapat bola-bola batu yang merupakan Batu Gatheng.
Batu tersebut adalah mainan Raden Rangga; putra dari Panembahan Senopati yang
sakti. Sementara itu di sisi utara terdapat Batu Genthong berwujud batu yang
memiliki ruangan di dalamnya. Batu tersebut digunakan sebagai tempat menampung
air untuk berwudhu Ki Ageng Giring dan Ki Juru Mertani; penasehat Panembahan
Senopati. Perjalanan kami menyusuri Kotagede berlanjut setelah ini.
Batu Gatheng, Mainan Raden Rangga |
Batu Genthong |
Dinding Benteng yang Jebol
Kami berjalan ke arah
utara melewati jalan yang kami gunakan sebelumnya. Terdapat sebuah peninggalan
berupa dinding di kiri jalan yang keberadaannya cukup mencolok dibanding
bangunan-bangunan lain di sekitarnya. Dinding ini tidaklah begitu panjang dan
berada di samping gang kecil menuju perkampungan. Sebenarnya dinding ini
termasuk bagian dari Benteng Cepuri Kotagede yang telah kami kunjungi
sebelumnya karena konstruksi bentengnya dahulu melingkari Keraton Kotagede.
Benteng Cepuri Kotagede |
Dinding yang kami kunjungi kali ini cukup unik.
Memang secara umum fungsi dan bentuknya hampir sama dengan situs Bokong Semar
yang kami kunjungi sebelumnya, namun dinding ini memiliki sebuah lubang yang
ada di tengah-tengahnya. Menurut kisah yang ada, lubang di dinding ini ada
karena Raden Rangga (anak Panembahan Senopati). Raden Rangga yang
terkenal sakti ternyata memiliki sifat yang sombong. Oleh karena itu pada suatu
hari Panembahan Senopati ingin mendidik puteranya tersebut untuk menghilangkan
sifat sombong pada dirinya
Lubang di Dinding Bekas Raden Rangga yang Dihempaskan oleh Panembahan Senopati |
Saat itu Raden Rangga ditantang oleh ayahnya;
Panembahan Senopati untuk mematahkan satu jarinya. Ternyata Raden Rangga
yang sakti tidak mampu mematahkan satu jari ayahnya tersebut. Kemudian oleh
Panembahan Senopati, dengan sekali hempas Raden Rangga langsung terlempar
sampai ke luar istana hingga menjebol dinding Benteng Cepuri Kotagede. Hal
tersebut dilakukan oleh Panembahan Senopati untuk mengajarkan kepada Raden Rangga bahwa di atas bumi masih ada langit supaya dia tidak lagi sombong.
Masjid Agung Kotagede
Perjalanan kami
berlanjut lagi, kali ini tujuan kami adalah Masjid Agung Kotagede yang plang
penunjuk jalannya sudah banyak terdapat di kanan-kiri jalan. Masjid Agung
Kotagede juga merupakan salah satu spot wisata religi di Kotagede yang banyak
dikunjungi sehingga areanya bebas dari kendaraan bermotor. Masjid ini dibangun
pada tahun 1589 masehi atas perintah Panembahan Senopati sebagai bagian dari konsep Catur Gatra Tunggal Keraton Kotagede yang
terdiri dari bangunan keraton, alun-alun, pasar, dan masjid.
Masjid Agung Kotagede |
Konsep Catur
Gatra Tunggal pada tata ruang di kebudayaan Jawa berarti empat elemen yang
membentuk suatu kesatuan. Konsep Catur
Gatra Tunggal mencerminkan sebuah pemerintahan yang memperhatikan empat
aspek; pertama adalah keraton sebagai aspek pemerintahan di mana raja tinggal
dan menjalankan roda pemerintahan. Kedua adalah aloon-aloon sebagai aspek
sosial yang merupakan tempat aktivitas masyarakat dan tempat raja bertemu
rakyatnya. Ketiga adalah masjid sebagai aspek religi yang melekat pada keraton.
Keempat adalah pasar sebagai aspek ekonomi yang menjadi pusat perputaran roda
perekonomian.
Kompleks Makam Kotagede
Gerbang Masuk Makam Kotagede |
Terdapat
sebuah gerbang dengan arsitektur kuno di selatan masjid. Gerbang tersebut
merupakan jalan menuju Sendang Seliran dan kompleks raja-raja mataram yaitu
makan Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senopati, dan Panembahan Hanyakrawati (Raja
kedua Mataram). Selain itu di sini pula dimakamkan Raja Pajang yaitu Sultan
Hadiwijaya atau Joko Tingkir. Juga terdapat makam Sri Sultan Hamengkubuwono II yang tidak dimakamkan di Imogiri. Bagi pengunjung yang ingin berziahar ke makam
harus mengikuti peraturan yang ada yaitu:
- Wanita mengenakan kain jarik, kemben, dan lepas jilbab.
- Laki-laki mengenakan peranakan, kain jarik, dan blangkon.
- Perlengkapan dapat disewa di kantor sekretariatan.
- Dilarang memotret di dalam makam.
Hari
dan jam buka dari Makam Kotagede adalah
- Senin, Kamis, dan Minggu dari pukul 10.00 – 13.00 WIB.
- Hari Jumat dari pukul 13.00 – 16.00 WIB
Peraturan Masuk Makam Kotagede |
Kami tidak masuk dan berziarah ke dalam makam.
Terdapat sebuah dinding dengan pintu tertutup rapat yang mana di balik gerbang
tersebut adalah makam dari Ki Ageng Pemanahan, Panembahan Senopati, Panembahan
Hanyakrawati dan Sultan Hadiwijaya (Sultan Kerajaan Pajang). Rombongan
melanjutkan perjalanan ke Sendang Seliran yang berada di area lebih rendah di
sebelah selatan makam.
Sendang Seliran
Kami harus menuruni
anak tangga dari bata untuk sampai ke Sendang atau Pemandian Seliran. Harap
untuk berhati-hati saat menapaki anak tangga karena beberapa bagian anak tangga
sudah terkikis sehingga rawan membuat terpeleset. Menurut beberapa sumber
sendang ini dikerjakan sendiri (diselirani) oleh Ki Ageng Pemanahan dan
Panembahan Senopati. Sementara ada juga pendapat bahwa sendang ini dinamai
Seliran karena air sendang berasal dari makam Panembahan Senopati (Selira =
badan).
Setelah Menuruni Anak Tangga |
Terdapat sebuah percabangan usai menuruni anak
tangga. Percabangan pertama adalah menuju Sendang Putri atau pemandian khusus
untuk wanita dan satu lagi adalah menuju Sendang Kakung atau pemandian khusus
untuk laki-laki. Rombongan kami menuju Sedang Putri terlebih dahulu. Letak
Sendang Putri ini adalah lurus ke arah selatan dari percabangan usai menuruni
anak tangga bata tadi.
Sendang Seliran Putri |
Sesuai dengan namanya, pemandian ini digunakan
khusus untuk perempuan. Sebuah atap berdiri di atas kolam yang terdapat ikan di
dalamnya. Sendang ini masih digunakan untuk mandi terutama pada malam-malam
tertentu. Ada sebuah mitos menarik di kolam ini yaitu apabila seseorang mampu
melihat seekor ikan lele yang badannya hanya tinggal tulang, maka dia merupakan
seseorang yang spesial dan permintaannya akan terkabul. Akan tetapi saat kami
berkujung, tidak ada seorang pun yang bisa melihat ikan dengan tubuh tulang
tersebut.
Sendang Seliran Putri |
Selanjutnya kami berpindah ke Sendang Kakung.
Kami harus berjalan ke percabangan kembali dan mengambil jalan ke arah barat.
Sendang Kakung ini tepat berada di selatan makam yang terlihat jelas dengan
dinding yang mengelilinginya. Secara umum tampilan dari Sendang Kakung tidak
jauh berbeda dari Sendang Putri berupa kolam yang di dalamnya terdapat
ikan-ikan dan atap di atasnya.
Sendang Seliran Kakung |
Sendang Seliran Kakung |
Satu hal yang membuat Sendang Kakung berbeda
dengan Sendang Putri adalah adanya sebuah sumur di samping kolam. Konon sumber
air dari sumur tersebut berasal dari kompleks makam Ki Ageng Pemanahan,
Panembahan Senopati, Panembahan Hanyokrowati, dan Sultan Hadiwijaya sehingga dipercaya bahwa air sumur
tersebut akan membuat wajah orang yang mencuci muka di sana menjadi awet muda
dan bercahaya. Mitos yang ada di Sendang Kakung mengenai ikan bertubuh tulang
pun juga masih berlaku, tetapi kembali tidak ada seorang pun dari kami yang
bisa melihat ikan itu.
Sumur di Sendang Seliran Kakung yang Konon Mata Airnya Bersal dari Makam Raja |
Perjalanan kami di Kotagede pun berakhir setelah
itu. Kami kembali berjalan kaki ke joglo yang digunakan sebagai titik kumpul
sebelum memulai penjelajahan ke Kotagede tadi. Usai semua personel berkumpul
lengkap, kami segera berjalan kembali ke bus melalui jalan kampung yang sempit
dan berbelok-belok bagai labirin. Sempat hujan turun cukup deras sehingga
perjalan kembal kami tertunda selama sekitar lima menit.
Penjelajahan kami di
Kotagede usai saat bus yang kami tumpangi mulai meninggalkan Kotagede.
Perjalanan selanjutnya adalah menuju Desa Kerto, Kecamatan Pleret, Kabupaten
Bantul. Perjalanan kami menuju daerah tersebut tidak lain adalah karena di sana
terdapat situs peninggalan Mataram Islam.
Dahulu di wilayah Kerto tersebut berdiri keraton kedua Kerajaan Mataram Islam saat masa kepemimpinan Sultan Agung (1613-1645 masehi). Sebelum menjelajahi situs Kerto, ada baiknya untuk mengetahi sejarah lanjutan mengenai Kerajaan Mataram usai berdiri dengan raja pertamanya yaitu Panembahan Senopati. Sultan Agung sendiri merupakan raja keempat Kerajaan Mataram Islam. Hal tersebut karena pendirian Keraton Mataram di Kerto tidak lepas dari sejarah raja-raja Mataram.
Kerto; Keraton Kedua Mataram
Dahulu di wilayah Kerto tersebut berdiri keraton kedua Kerajaan Mataram Islam saat masa kepemimpinan Sultan Agung (1613-1645 masehi). Sebelum menjelajahi situs Kerto, ada baiknya untuk mengetahi sejarah lanjutan mengenai Kerajaan Mataram usai berdiri dengan raja pertamanya yaitu Panembahan Senopati. Sultan Agung sendiri merupakan raja keempat Kerajaan Mataram Islam. Hal tersebut karena pendirian Keraton Mataram di Kerto tidak lepas dari sejarah raja-raja Mataram.
Situs Kerto
Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601 masehi
dan digantikan oleh Mas Jolang sebagai Raja Mataram selanjutnya bergelar Sri
Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senopati ing Ngalaga Mataram. Mas Jolang tidak
begitu lama memerintah Mataram (1601-1613 masehi) karena wafat saat berburu di
Hutan Krapyak sehingga mendapat gelar anumerta yaitu Panembahan Seda ing
Krapyak.
Raja Mataram selanjutnya yang ditunjuk adalah
Mas Rangsang atau yang kemudian dikenal sebagai Sultan Agung, akan tetapi Mas
Jolang sempat membuat janji bahwa anak dari istri pertamanya (Ratu Tulungayu)
akan menjadi raja. Oleh karena itu sepeninggalnya, Mas Wuryah yang merupakan
anak Mas Jolang diangkat menjadi Raja Mataram bergelar Adipati Martapura meskipun baru berusia tujuh tahun. Mas
Wuryah pun resmi menjadi raja ketiga Mataram, meskipun masa pemerintahannya
hanya satu hari saja dan kemudian digantikan oleh Mas Rangsang.
Pendirian Keraton Mataram di Kerto
Mas Rangsang naik
tahta menjadi raja keempat Kerajaan Mataram Islam dengan gelar Panembahan
Hanyakrakusuma pada awalnya yang kemudian berubah menjadi Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati
ing Ngalaga Abdurrahman. Hingga kini Mas Rangsang populer dikenal dengan Sultan
Agung. Pendirian Keraton Mataram Islam di Kerto dimulai saat masa pemerintahan
Sultan Agung.
Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati ing Ngalaga Abdurrahman Sumber: http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/kerajaan-mataram-islam.html |
Ibu kota pemerintahan Mataram Islam berpindah
dari Kotagede ke Kerto saat mulai ditempati oleh Sultan Agung pada tahun 1618
masehi. Sementara itu Keraton Kotagede tidak ditinggalkan begitu saja, tetapi
menjadi tempat tinggal ibu suri. Masa pemerintahan Sultan Agung merupakan masa
kejayaan Mataram Islam dengan luasnya daerah kekuasaannya meliputi pantai utara
Jawa, Cirebon, Jawa Timur, hingga Pulau Madura. Mataram Islam juga dua kali
melakukan penyerangan fenomenal terhadap VOC di Batavia pada tahun 1628 dan
1629 masehi, meskipun keduanya gagal.
Keraton Mataram nan Megah itu Seakan Menghilang
Situs Kerto |
Ketika kami tiba di
Situs Kerto, sudah tidak ada lagi bangunan keraton yang berdiri. Kondisi yang
kami jumpai di sana begitu kontras dengan cerita mengenai masa kejayaan Mataram
Islam di bawah pemerintahan Sultan Agung. Hanya terdapat dua umpak (pasak untuk
mendirikan tiang kayu) besar dari batu yang ada di sana. Selebihnya yang ada
berupa lahan kosong yang ditumbuhi rumput dan bambu sehingga wajar apabila
tidak banyak orang tahu bahwa di sini pernah berdiri sebuah keraton megah.
Dulunya di Sini Berdiri Sebuah Keraton yang Megah |
Mas Denny yang menjadi pemandu kami bercerita mengenai
sejarah Keraton Mataram Islam di Kerto ini. Diceritakan memang dulunya di sini
berdiri keraton yang begitu megah. Wajar saja karena keraton ini berdiri ketika
masa puncak kejayaan Kerajaan Mataram Islam. Saat dilakukan penelusuran
mengenai Keraton Mataram di Kerto oleh pihak berwajib, hanya ditemukan 3 umpak
batu yang mana sekarang salah satunya menjadi umpak dari saka tunggal (satu
tiang penyangga utama) Masjid Saka Tunggal di daerah Taman Sari atas perintah Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Umpak di sini memiliki ukiran huruf arab di sampingnya yang jika dirangkai maka dibaca "Muhammad".
Umpak Keraton Mataram Islam di Kerto |
Saya sempat bertanya kepada Mas Denny mengenai
penyebab menghilangnya keraton megah Mataram Islam di Kerto ini. Mas Denny kemudian menjelaskan bahwa spekulasi terkuat mengenai hilangnya Keraton kedua Mataram
Islam ini adalah karena sebagian besar konstruksi keraton yang terbuat dari kayu.
Saat raja Mataram setelahnya yaitu Amangkurat I bertahta menggantikan Sultan
Agung, pusat pemerintahan kerajaan kembali berpindah dan mulai saat itu keraton
kedua Mataram di Kerto ditinggalkan sehingga tidak lagi terawat. Kondisi yang
tak terawat membuat keraton kedua Mataram Islam ini mulai perlahan dihancurkan
oleh alam.
Mas Denny Menjelaskan Sejarah Keraton Kerto |
Setiap keraton pasti memiliki konsep Catur Gatra
Tunggal. Keraton Mataram Islam di Kerto juga memiliki konsep tersebut seperti
di Keraton Kotagede. Selain petilasan keraton, situs peninggalan Keraton
Mataram di Kerto lainnya adalah masjid. Masjid yang merupakan bagian konsep
Catur Gatra Tunggal Keraton Mataram Islam di Kerto tersebut bernama Masjid
Taqorrub Kanggotan. Letak dari masjid berada di sebelah selatan petilasan
keraton dengan menyusuri jalan kampung. Berbeda denga masjid-masjid keraton
lain yang umumnya menjadi masjid agung, masjid peninggalan Keraton Mataram
Islam di Kerto ini tidak begitu besar.
Menuju Masjid |
Masjid Taqorrub Kanggotan |
Sesampainya kami di Masjid Taqorrub kanggotan,
ternyata di sana tidak hanya terdapat bangunan masjid saja. Terdapat sebuah
peninggalan peradaban Kerajaan Mataram kuno; jauh sebelum Mataram Islam berdiri
berupa Batu Lingga Patok di sebelah utara masjid. Peninggalan ini hanyalah
sebuah replika saja, sementara yang asli sudah diamankan oleh pihak terkait
agar tidak hilang atau rusak.
Peninggalan Kerajaan Mataram Kuno |
Penetapan Masjid Taqorrub Kanggotan sebagai
bagian dari konsep Catur Gatra Tunggal Keraton Mataram Islam di Kerto juga
masih merupakan perkiraan karena kurangnya catatan atau bukti sejarah mengenai keraton
tersebut. Selain berkunjung ke masjid, kami juga sekalian menunaikan ibadah
sholat dzuhur di masjid ini. Setelah selesai sholat, penjelajahan kami di
Keraton Mataram Islam daerah Kerto pun selesai kemudian perjalanan kami kembali
berlanjut.
Keraton Ketiga Mataram Islam
Kami melanjutkan
perjalanan kembali dengan menggunakan bus. Kali ini tujuan kami tidak begitu
jauh dari situs Kerto, yaitu situs keraton ketiga Mataram Islam yang ada di
Pleret. Letak dari situs ini berada di dekat Pasar Pleret. Jika dicari melalui Google
Map, namanya adalah Situs Masjid Kauman Pleret.
Situs Keraton Pleret
Pusat Pemerintahan Mataram Islam kembali berpindah usai Sultan Agung wafat pada tahun 1645 masehi pada masa pemerintahan Raden Mas Sayidin; anak Sultan Agung yang memerintah dari tahun 1646 – 1677 masehi. Raden Mas Sayidin naik tahta menjadi Raja Mataram Islam dengan gelar Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat Agung atau lebih dikenal sebagai Amangkurat I. Tidak diketahui alasan Amangkurat I untuk kembali memindahkan pusat kerajaan dan membangun keraton baru lagi di Pleret. Satu-satunya alasan yang ada adalah Amangkurat I tidak bersedia lagi untuk tinggal di Kerto usai naik tahta.
Amangkurat I Sumber: http://wijayadia.blogspot.co.id/2014/02/munculnya-kebudayaan-jawa-bag-3.html |
Saat kami sampai di Situs Masjid Kauman Pleret,
ternyata sedang dilakukan perbaikan atau rekonstruksi terhadap masjid tersebut.
Masjid ini dulunya merupakan bagian dari Keraton Mataram Islam di Pleret yang
konstruksinya dari batu bata, tidak dari kayu seperti Keraton Mataram Islam di
Kerto. Akan tetapi kondisi Situs Masjid Agung Kauman Pleret ini sudah hampir
tak berbekas, hanya ada beberapa peninggalan berupa reruntuhan di dalam tanah
dan beberapa umpak untuk mendirikan tiang masjid.
Mas Denny Menjelaskan Sejarah Keraton Pleret |
Keraton yang Lagi-lagi Seakan Menghilang
Hancurnya situs
keraton Mataram Islam di Pleret tidak lepas dari masa kemunduran Mataram Islam
di bawah pimpinan Amangkurat I. Berbeda dengan ayahnya; Sultan Agung yang
berhasil membawa Mataram Islam ke puncak kejayaannya, gaya kepemimpinan diktator
Amangkurat I menimbulkan banyak pemberontakan dari pihak-pihak yang tidak
setuju dengannya. Banyak catatan-catatan menuliskan bahwa Amangkurat I kerap
melakukan pembantaian terhadap orang-orang yang tidak sepaham dengannya,
termasuk para ulama sekalipun. Jika Sultan Agung semasa pemerintahannya
berusaha melawan VOC, maka tidak dengan Amangkurat I yang malah menjalin
hubungan baik dengan mereka.
Reruntuhan Situs Pleret |
Pemberontakan terbesar terhadap Amangkurat I yang terjadi adalah pemberontakan oleh Trunojoyo; bangsawan Madura. Trunojoyo
memberontak dengan dibantu Karaeng Galesong; pemimpin kelompok pelarian warga
Makassar pendukung Sultan Hasanuddin; raja Kerajaan Gowa yang telah dikalahkan
oleh VOC. Pemberontakan Trunojoyo yang dibantu Karaeng Galesong ini bahkan
berhasil menginvasi Keraton Mataram Islam di Pleret sehingga Amangkurat I harus
melarikan diri ke barat untuk meminta bantuan VOC. Akan tetapi dalam
perjalanannya, Amangkurat I wafat di daerah Banyumas dan meminta untuk
dimakamkan di daerah Tegal. Karena tanahnya yang wangi, maka daerah itu
dinamakan Tegalwangi atau Tegalarum. Amangkurat I pun juga mendapat julukan
Amangkurat Tegalarum. Menurut Babad Tanah Jawi, kematian Amangkurat I juga dipercepat oleh air kelapa beracun yang diberikan oleh anaknya sendiri; Mas Rahmat.
Reruntuhan Situs Pleret |
Penerus dari Amangkurat I adalah anaknya yaitu
Mas Rahmat yang bergelar Amangkurat II. Mataram kembali dapat direbut olehnya
dengan bantuan VOC. Perang perebutan kekuasaan inilah yang diduga membuat
Keraton Mataram Islam di Pleret luluh lantak. Usai kembali bertahta, Amangkurat
II kembali meindahkan pusat pemerintahan kemudian membuat keraton baru di Kartasura
dan meninggalkan Keraton Pleret karena pernah diduduki musuh sehingga dianggap telah tercemar.
Umpak di Reruntuhan Situs Pleret |
Menurut beberapa catatan, kehancuran situs
Keraton Pleret juga disebabkan karena tempat ini pernah menjadi markas Pangeran
Diponegoro. Pertempuran antara pasukan Pangeran Diponegoro dengan VOC di sini
ikut berperan dalam kehancuran situs Keraton Mataram Islam di Pleret. Terdapat
juga catatan bahwa ketika VOC gencar-gencarnya membangun banyak pabrik gula,
mereka banyak mengambil batu bata dari bangunan Keraton Pleret.
Museum Sejarah Purbakala Pleret
Museum Sejarah Purbakala Pleret
Kami kembali melanjutkan perjalanan dengan bus,
kali ini tujannya merupakan destinasi terakhir dalam perjalanan hari ini. Tujuan
kami tidak begitu jauh dari Situs Masjid Kauman Pleret, yaitu Museum Sejarah
Purbakala Pleret. Seperti museum-museum purbakala lainnya, Museum Sejarah
Purbakala Pleret menyimpan berbagai koleksi-koleksi kuno peradaban manusia
zaman dahulu kala dari arca hingga patung.
Museum Sejarah Purbakala Pleret |
Pak Susanto yang Menyambut Kami |
Terdapat sebuah sumur yang terletak di bagian
halaman museum bernama Sumur Gumuling. Diperkirakan dulu air Sumur Gumuling ini
digunakan untuk memandikan benda-benda pusaka Kerajaan Mataram Islam. Ada juga
pendapat yang menyatakan bahwa Sumur Gumuling ini terhubung dengan laut
selatan. Menurut penjelasan Pak Susanto, pernah ada rombongan yang meminum air
sumur ini dan ternyata rasa air sumur tersebut berbeda-beda menurut penuturan
rombongan yang meminum airnya. Ada yang berkata bahwa rasanya asin, tawar,
bahkan hingga manis.
Sumur Gumuling di Museum Sejarah Purbakala Pleret |
Kami memasuki sebuah ruangan yang di dalamnya
terdapat koleksi-koleksi mengenai sejarah peradaban Mataram Islam. Fasilitas
museum semakin lengkap dengan adanya penjelasan-penjelasan sehingga pengunjung
dapat mengerti apa yang mereka lihat. Fasilitas paling moderen di sini adalah
adanya proyeksi hologram yang memperlihatkan perkiraan bentuk Keraton Mataram
Islam di Kerto sewaktu masih utuh.
Hologram |
Perkiraan Bentuk Tiang Kayu yang Berdiri di Atas Umpak |
Akhir Penjelajahan Bagian Pertama
Sekitar pukul 15.00
WIB, perjalanan kami akan segera berakhir. Panitia dari Komunitas Malam Museum
meminta kami untuk berkumpul kembali di halaman museum. Pada sesi tersebut,
panitia menjelaskan mengenai peraturan-peraturan kepada peserta yang mengikuti lomba.
Setelah itu kami semua berfoto bersama di halaman museum sebagai
kenang-kenangan akan perjalanan hari ini yang dimuat di postingan instagram
@malamuseum milik Komunitas Malam Museum.
Pukur 15.30 WIB bus yang kami tumpangi akhirnya
bertolak kembali ke Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Beruntung
karena kondisi jalanan yang kami lewati tidak begitu macet sehingga perjalanan
pulang cukup lancar. Kurang dari satu jam kemudian kami sudah sampai kembali di
Gelanggang Mahasiswa UGM dengan selamat yang juga menjadi penanda berakhirnya
acara Jelajah Peradaban Mataram Islam bagian pertama (Kotagede-Kerto-Pleret).
Kenang-kenangan dengan Mbak Indi; Salah Satu Peserta Jelajah Peradaban Mataram Islam |
Syukur
Alhamdulillah, acara Jelajah
Peradaban Mataram Islam yang diadakan oleh Komunitas Malam Museum di hari
pertama ini berjalan dengan lancar. Tentunya penelusuran-penelusuran di
Kotagede-Kerto-Pleret ini memberikan banyak pengalaman, wawasan, serta
pengetahuan yang berharga bagi saya. Meskipun perjalanan kami di hari pertama
ini telah selesai, tetapi keseluruhan acara Jelajah Peradaban Mataram Islam
belumlah selesai. Masih ada kisah selanjutnya dari rangkaian penjelajahan
peradaban Mataram Islam dan juga lanjutan kisah sejarah mengenai Kerajaan
Mataram Islam usai pemerintahan Amangkurat II.
PERJALANAN PUN MASIH
BERLANJUT……..>>> LANJUTAN
Posting Komentar
Posting Komentar