NAPAK TILAS MATARAM ISLAM PART 2: KARTASURA-SURAKARTA-MANGKUNEGARAN

Posting Komentar
Konten [Tampil]
Latar atau setting berupa waktu dari postingan ini adalah di Hari Minggu tanggal 15 Oktober 2017. Perjalanan kali ini masih merupakan rangkaian dari acara Jelajah Peradaban Mataram Islam yang diadakan oleh Komunitas Malam Museum. Jika satu hari sebelumnya kami melakukan PENJELAJAHAN PERADABAN MATARAM ISLAM DI KOTAGEDE-KERTO-PLERET, kali ini penjelajahan terhadap peradaban Mataram Islam kami lakukan di Kartasura, Surakarta, dan Mangkunegaran.

Istana Mangkunegaran
Istana Mangkunegaran, Salah Satu Destinasi Kami
Benang Merah yang Terbalik

Pagi itu hampir sama seperti satu hari sebelumnya, kami kembali berkumpul di Gelanggang Mahasiswa di jam yang sama untuk melakukan registrasi sebelum berangkat. Waktu keberangkatan kami pun sama dengan sebelumnya yaitu sekitar pukul 08.00 WIB. Bus yang kami gunakan dalam perjalanan kali ini juga sama dengan sebelumnya, bahkan penempatan peserta yang sudah mengikuti rangkaian acara sehari sebelumnya juga sama.
Briefing oleh Bung @Erwindeje dari @malamuseum
Sebenarnya urutan destinasi dalam perjalanan kami kali ini sama dengan judul postingan ini dengan Kartasura sebagai destinasi awal. Urutan tersebut didasarkan pada sejarah Kerajaan Mataram Islam yang sebenarnya usai Amangkurat II berhasil memadamkan pemberontakan Trunojoyo dan kembali merebut Mataram dengan bantuan VOC. Setelah itu Amangkurat II memindahkan pusat Kerajaan Mataram Islam ke Kartasura.
Dipandu Mbak Uzy
Akan tetapi ternyata perjalanan kami hari ini tidak sesuai dengan apa yang direncanakan. Sesaat sebelum berangkat, panitia menjelaskan bahwa Kartasura akan menjadi destinasi terakhir karena jam buka dari Keraton Surakarta dan Mangkunegaran hanya sampai jam 3 sore saja. Urutan perjalanan memang menjadi Surakarta-Mangkunegaran-Kartasura, akan tetapi postingan ini akan tetap menggunakan urutan Kartasura-Surakarta-Mangkunegaran. Hal yang perlu diperhatikan adalah penjelasan mengenai waktu supaya tidak membingungkan.


Keraton Keempat di Hutan Karta

Petilasan Keraton Kartasura
Petilasan Keraton Kartasura
Sekitar pukul 15.20 WIB kami tiba di petilasan Keraton Kartasura. Tempat ini tidak terlalu dikenal oleh masyarakat luas karena bukanlah obyek wisata andalan seperti Keraton Surakarta dan Mangkunegaran. Lokasi dari petilasan Keraton Kartasura ada di Kartasura; Kabupaten Sukoharjo. Bangunan keraton juga sudah tidak ada di situs Keraton Kartasura ini, hanya ada dinding bata yang dulunya merupakan benteng keraton.
Letak Petilasan Keraton Kartasura

Setibanya kami di petilasan Keraton Kartasura, kami dikumpulkan di Bangsal Palerman yang merupakan penanda bahwa dulunya di sini terdapat sebuah Bangsal Pasewakan; bagian dari Keraton Kartasura. Bangsal Palerman ini bukanlah bagian Keraton Kartasura karena baru dibangun pada tahun 1826 pada pemerintahan Pakubuwono IX dan X. Kami dipandu oleh Bapak Surya Lesmana, putera dari juru kunci petilasan Keraton Kartasura. Beliau menjelaskan kepada kami mengenai sejarah dari Keraton Kartasura sewaktu masih berdiri. 
Bangsal Palerman di Petilasan Keraton Kartasura
Bangsal Palerman di Petilasan Keraton Kartasura
Seperti yang sudah dijelaskan tadi, bangunan keraton sudah tidak ada dan hanya ada dinding bata melingkar bekas benteng keraton. Bagian dalam benteng kini sudah berubah menjadi permukiman warga. Sebagian area di dalam benteng Keraton Kartasura lainnya kini juga adalah berupa pemakaman luas yang membentang dari tengah hingga ke barat.
Lambang Surakarta Hadiningrat
Lambang Surakarta Hadiningrat
Benteng yang masih berdiri merupakan benteng Sri Manganti seluas 2,5 hektar atau benteng bagian dalam. Konstruksi benteng terbuat dari batu bata merah. Konon dahulu tingginya mencapai 6 meter dengan ketebalan 2 meter. Sementara itu benteng bagian luar atau Benteng Baluwarti sudah nyaris tidak bersisa. Sekarang benteng yang ada tidak terlalu tinggi karena telah mengalami kerusakan akibat dimakan usia.


Singkatnya Masa Pemerintahan Amangkurat III

Sebelum dibangun keraton, Kartasura merupakan sebuah hutan yang bernama Wanakarta atau Hutan Karta. Tidak diketahui mengapa Amangkurat II memilih Wanakarta sebagai lokasi pendirian keraton selanjutnya. Menurut berbagai sumber thesis, salah satu kemungkinanya adalah karena hasil bertapa. Pembangunan Keraton Kartasura berlangsung cepat, yaitu dari Januari dan selesai pada Bulan September 1680. Begitu selesai, Amangkurat II langsung menempati Keraton Kartasura.
Amangkurat II
Amangkurat II
Sumber Foto: http://keraton.perpusnas.go.id/node/122
Amangkurat II bertahta selama 23 tahun. Setelah wafat, raja selanjutnya adalah puteranya bernama Sunan Mas Sutikna yang bergelar Amangkurat III. Masa pemerintahan Amangkurat III hanya sebentar saja yaitu dari tahun 1703 hingga 1705 masehi. Singkatnya masa pemerintahan Amangkurat III salah satunya karena kutukan Amangkurat I kepada anaknya; Amangkurat II saat dia diberi air kelapa beracun bahwa kelak keturunan dari Amangkurat II tidak akan ada yang menjadi raja kecuali seorang saja (Amangkurat III) dan itu pun hanya sebentar.

Singkatnya masa pemerintahan Amangkurat III juga dikarenakan terjadi perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Puger (adik Amangkurat II /paman Amangkurat III). Pangeran Puger mengangkat dirinya sebagai Raja Mataram dengan gelar Paku Buwana Senapati ing Ngalaga Ngabrurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa atau lebih dikenal sebagai Pakubuwana I.
Pakubuwana I
Pakubuwana I
Sumber Foto: http://keraton.perpusnas.go.id/node/127
Dukungan terhadap Pakubuwana I untuk menduduki tahta kerajaan begitu besar, termasuk dari pihak VOC. Amangkurat III pun tidak berdaya dalam menghadapi kubu Pakubuwana I, meskipun dia dibantu oleh Untung Suropati yang sangat memusuhi VOC. Amangkurat III akhirnya dapat ditangkap dan kemudian dibuang ke Ceylon (Sri Lanka). Tahta kerajaan pun diduduki oleh Pakubuwana I yang memerintah dari tahun 1704 hingga 1719 masehi. Setelah Pakubuwana I wafat, pemerintahan di Kartasura dilanjutkan oleh Raden Mas Suryaputra bergelar Amangkurat IV.


Badai Pemberontakan Terhadap Amangkurat IV

Amangkurat IV memerintah dari tahun 1719 hingga 1726 masehi. Pemberontakan yang dihadapi oleh Amangkurat IV adalah dari saudaranya sendiri; sesama putera dari Pakubuwana I antara lain dari Pangeran Arya Dipanegara, Pangeran Blitar, dan Pageran Purbaya. Pemberontakan lainnya dilakukan oleh pamannya sendiri yaitu Arya Mataram yang mengangkat diri sebagai raja di Pati.

Banyaknya pihak pemberontak membuat masyarakat Jawa kian terpecah belah. Banyak meletus peperangan antara pihak Amangurat IV dengan para pemberontak. Amangkurat IV dengan bantuan VOC akhirnya satu per satu berhasil menumpas pemberontakan. Amangkurat IV wafat pada tanggal 20 April 1726 karena diracun dan digantikan oleh putranya yaitu Raden Mas Prabasuyasa yang bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana II. Saat naik tahta, Pakubuwana II baru berusia 15 tahun.
Pakubuwana II
Pakubuwana II
Sumber Foto: https://id.wikipedia.org/wiki/Pakubuwana_II

Hancurnya Keraton Kartasura

Usia dari Keraton Kartasura tidaklah panjang, yaitu hanya 65 tahun sejak didirikannya. Peristiwa pemberontakan besar yang sampai menghancurkan Keraton Kartasura ini terjadi pada masa pemerintahan Pakubuwana II. Pemberontakan besar ini dilakukan oleh orang-orang Tionghoa sehingga dikenal dengan Geger Pecinan. Awal dari pemberontakan ini adalah karena terjadinya pembantaian terhadap etnis Tionghoa yang dilakukan oleh VOC di Batavia.
Ilustrasi Geger Pecinan di Batavia
Ilustrasi Geger Pecinan di Batavia
Sumber Foto: https://id.wikipedia.org/wiki/Geger_Pacinan
Pelarian etnis Tionghoa kemudian bergerak ke arah timur dan meminta bantuan Pakubuwana II untuk memerangi VOC. Awalnya Pakubuwana II mendukung para etnis Tionghoa ini untuk melawan VOC, akan tetapi pada akhirnya balik mendukung VOC setelah Cakraningrat IV dari Madura turut membantu VOC. Hal ini memicu kekecewaan dari banyak pihak; bukan hanya kaum Tionghoa, tetapi masyarakat Jawa yang membenci VOC. Oleh karena itu mereka kemudian mengangkat Raden Mas Garendi (cucu Amangkurat III) sebagai pemimpin.

Para pemberontak pun menyerang Keraton Kartasura secara besar-besaran. Serangan tersebut mampu menembus pertahanan dan menghancurkan Keraton Kartasura sehingga membuat Pakubuwana II melarikan diri ke Ponorogo. Raden Mas Garendi diangkat menjadi raja oleh para pemberontak dengan gelar Amangkurat V. Pakubuwana II menghimpun kekuatan di Ponorogo kemudian dengan bantuan VOC dia berhasil kembali menguasai Keraton Kartasura. Sama seperti Keraton Pleret yang tercemar setelah diduduki Trunojoyo, Keraton Kartasura selain hancur juga turut tercemar akibat pendudukan oleh Raden Mas Garendi ini. Oleh karena itu Pakubuwana II memutuskan untuk membangun keraton baru yang sekarang ini adalah Keraton Surakarta Hadiningrat.


Petilasan Keraton Kartasura

Setelah Pakubuwana II pindah ke Keraton Surakarta Hadiningrat, Keraton Kartasura ditinggalkan begitu saja. Lama berselang, area keraton kembali berubah menjadi hutan bernama Hutan Keraton yang banyak terdapat menjangan. Pencarian kembali keberadaan Keraton Kartasura dilakukan pada tahun 1811 atas perintah Raja Surakarta saat itu. Proses pembersihan memakan waktu 5 tahun, sementara menjangan-menjangan yang ada dikumpulkan dan dipindahkan ke Kandang Menjangan (sekarang adalah RPKAD kopasus yang didirikan tahun 1962).
Pohon Kleco yang Langka
Pohon Kleco yang Langka
Konon Merupakan Saksi Hidup Masa Jaya Keraton Kartasura
Setelah proses pembersihan selesai, ternyata bangunan keraton yang tersisa hanyalah benteng. Kemudian dari Keraton Surakarta ditunjuklah juru kunci untuk menjaga petilasan Keraton Kartasura ini. Atas perintah Raja Surakarta pula didirikan sebuah kompleks pemakaman di petilasan Keraton Kartasura ini sebagai tanda matinya Keraton Kartasura yang sudah tidak digunakan lagi.
Pemakaman yang Dulunya Dalem Ageng Keraton Kartasura
Pemakaman yang Dulunya Dalem Ageng Keraton Kartasura
Selain peninggalan berupa benteng, terdapat peninggalan peristiwa penyerbuan yang dikenal dengan Geger Pecinan tersebut. Kami diantar oleh Pak Surya Lesmana untuk menuju tempat Jebolan Pecinan berada. Jalan yang kami lalui berada di tengah kompleks pemakaman. Dulunya kompleks pemakaman yang kami lalui ini merupakan Dalem Ageng atau tempat tinggal raja. Perjalanan yang dilakukan bersama rombongan membuat suasana di tengah pemakaman tidak begitu menyeramkan.
Petilasan Kamar Raja di Keraton Kartasura
Petilasan Kamar Raja di Keraton Kartasura
Saat berjalan menuju lokasi Jebolan Pecinan, kami melewati sebuah petilasan berupa 2 buah batu yang ditutupi oleh kain berwarna pink. Petilasan ini dulunya adalah kamar tidur raja sewaktu Keraton Kartasura masih digunakan. Perjalanan menuju lokasi Jebolan Pecinan tidak lagi jauh dari sini, yaitu tinggal berjalan melewati semak-semak ke arah utara dari petilasan kamar tidur raja.
Jalan Menuju Jebolan Pecinan
Jalan Menuju Jebolan Pecinan
Kami pun tiba di lokasi Jebolan Pecinan di dinding sebelah utara di mana terdapat sebuah lubang besar yang dibuat oleh para pemberontak pada peristiwa Geger Pecinan pada masa lalu. Lubang dinding ini sekarang tidak sepenuhnya berlubang karena telah dibangun sebuah tembok baru di bagian luar guna mencegah orang supaya tidak dengan bebas keluar-masuk melalui lubang tersebut untuk menjaganya agar tidak rusak.

Sebenarnya lokasi ini merupakan lokasi bersejarah yang sudah dikenal oleh para sejarawan hingga manca negara. Akan tetapi sayangnya minimnya pendanaan membuat lokasinya menjadi kurang terawat. Kondisi jalan setapak kini telah ditumbuhi oleh rerumputan yang tinggi sehingga cukup menyulitkan pengunjung. Andai saja lokasi ini terawat dan disediakan jalan khusus menuju Jebolan Pecinan, tentu hal ini akan mempermudah pengunjung yang ingin mempelajari sejarah Keraton Kartasura.
Lokasi Jebolan Pecinan
Lokasi Jebolan Pecinan
Perjalanan kami menjelajahi Keraton Kartasura ini pun selesai dan menurut jadwal, perjalanan kami hari ini berakhir di sini. Akan tetapi menurut benang merah, perjalanan kami seharusnya menuju  Keraton Surakarta yang merupakan peninggalan peradaban Mataram Islam setelah Keraton Kartasura. Oleh karena itu, catatan yang ditulis selanjutnya akan sedikit flash back kembali ke pukul 10.00 WIB saat kami tiba di kawasan Keraton Surakarta.


Welcome to Surakarta
Minum Jamu Dulu
Setelah perjalanan yang memakan waktu kurang-lebih 2 jam dari Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, akhirnya kami sampai di kawasan Keraton Surakarta di Kota Solo/Surakarta. Bus yang kami gunakan parkir di sebelah timur alun-alun utara Keraton Surakarta. Kami harus berjalan kaki untuk sampai di Keraton Surakarta. Kondisi saat itu cukup ramai karena Keraton Surakarta merupakan destinasi wisata utama Kota Surakarta.
Jalan Kaki Menuju Keraton Surakarta
Selanjutnya kami mulai berjalan menuju keraton melalui jalan aspal menyusuri Supit Urang. Jalanan yang kami lewati saat itu dilalui kendaraan yang cukup banyak sehingga kami harus berhati-hati. Sekitar pukul 10.30 WIB kami sampai di bagian depan Keraton Surakarta atau Kori Kamandungan Lor. Pintu masuk menuju keraton berada di sisi timur sehingga kami masih harus sedikit berjalan kaki lagi.
Kori Kamandungan Keraton Surakarta
Kori Kamandungan Lor Keraton Surakarta
Kami akhirnya tiba di pintu masuk pengunjung Keraton Surakarta. Rombongan besar kembali dipecah menjadi 3 seperti saat kunjungan di KOTAGEDE sehari sebelumnya. Masing-masing rombongan didampingi oleh seorang pemandu yang disediakan oleh pihak keraton. Area Keraton Surakarta yang terbuka bagi pengunjung hanyalah pelataran kedaton dan museum. Kami mengunjungi pelataran terlebih dahulu. Sebelum memasuki pelataran kami harus melepas topi dan sandal karena peraturan untuk memasuki pelataran adalah dilarang memakai topi, kaca mata, sandal, dan rok/celana pendek.
Pemandu Kami di Keraton Surakarta

Surakarta; Keraton Terakhir Mataram Islam

Kami mulai memasuki kawasan pelataran. Saya sendiri harus melepas sepatu sandal untuk mengikuti peraturan yang berlaku. Kawasan pelataran ini berupa sebuah halaman luas dengan pasir sebagai tanahnya. Pasir ini ada karena dulunya Keraton Surakarta adalah rawa sehingga harus ditutup dengan pasir. Pelataran ini ditumbuhi oleh pohon sawo kecik yang memiliki makna filosofis Sarwo Becik atau serba baik. Terdapat pula ornamen-ornamen bergaya khas eropa pada beberapa bagian bangunan keraton yang merupakan hadiah dari raja-raja Eropa.
Pohon-Pohon Sawo Kecik di Pelataran
Pohon-Pohon Sawo Kecik di Pelataran
Ornamen Khas Eropa
Keraton Surakarta berdiri pada masa pemerintahan Pakubuwana II dan proses pendiriannya hanya memakan waktu 7 bulan dan mulai ditempati pada tahun 1745. Usai peristiwa Geger Pecinan, keadaan kerajaan masih belum aman. Sisa pemberontakan masih ada dan dipimpin oleh Raden Mas Said (anak Pakubuwana I/keponakannya sendiri) yang membenci VOC. Saat itu Pakubuwana II mengadakan sayembara bahwa yang bisa merebut Tanah Sukowati (sekarang Sragen) akan mendapat hadiah tanah seluas 3000 cacah.
Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa
Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa
Sumber Foto: https://www.kaskus.co.id/thread/516e29b68327cfaa3100000f/sejarah-perjuangan-raden-mas-said/

Raden Mas Sujana atau Pangeran Mangkubumi sebenarnya berhasil merebut tanah Sukowati. Akan tetapi suatu ketika datanglah seorang gubernur jenderal VOC bernama Baron van Imhof. Kedatangannya kian memperkeruh suasana karena dia mendesak Pakubuwana II untuk menyerahkan pesisir utara kepada VOC sebesar 20.000 real untuk melunasi hutang perang. Hal tersebut ditentang oleh Pangeran Mangkubumi sehingga terjadi pertengkaran yang mana kemudian Baron van Imhof menghinanya di depan umum. Pangeran Mangkubumi yang sakit hati meninggalkan Surakarta pada Bulan Mei 1976 dan begabung dengan Raden Mas Said.


Titik Nadir hingga Akhir Mataram Islam

Selanjutnya terjadi pertempuran-pertempuran antara Mataram yang didukung VOC dengan aliansi Pangeran Mangkubumi-Raden Mas Said. Pakubuwana II kemudian wafat pada tanggal 20 Desember 1749 karena sakit. Sebelum meninggal, Pakubuwana II menyerahkan kedaulatan kerajaan sepenuhnya kepada VOC sebagai pelindung Mataram melalui perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1749.

Bisa dibilang pada masa pemerintahan Pakubuwana II, Mataram Islam berada di titik terendahnya. Kedaulatan kerajaan pun mulai hilang sejak ditandatanganinya perjanjian tanggal 11 Desember 1749 tersebut karena setelahnya hanya VOC yang berhak melantik raja-raja keturunan Mataram hingga kemerdekaan Indonesia. Sebelumnya pada tahun 1743 pun telah diadakan sebuah perjanjian bahwa mahapatih kerajaan ketika dipilih atau diturunkan harus dengan restu VOC. Kedudukan raja pun statusnya hanya sebagai Leenman atau peminjam kekuasaan kumpeni. Raden Mas Suryadi yang merupakan anak Pakubuwana II kemudian diangkat oleh VOC menjadi raja selanjutnya dengan gelar Pakubuwana III.
Pangeran Mangkubumi atau Hamengkubuwono I
Pangeran Mangkubumi atau Hamengkubuwono I
Sumber Foto: https://alchetron.com/Hamengkubuwono-I-943943-W
Aliansi Raden Mas Said dengan Pangeran Mangkubumi mengalami perpecahan pada tahun 1752 karena masalah perebutan kekuasaan. VOC kemudian menawarkan perundingan damai dengan Pangeran Mangkubumi. Puncak dari perundingan damai tersebut adalah Perjanjian Giyanti yang dilakukan pada tanggal 13 Februari 1755 di Desa Janti, Kecamatan Jantiharjo, Karanganyar. Isi dari perjanjian tersebut adalah mengakui Pangeran Mangkubumi sebagai Hamengkubuwana I dengan wilayah setengah dari kekuasaan Pakubuwana III, sedangkan wilayah pesisir utara disewa oleh VOC dengan harga 20.000 real yang mana Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi masing-masing mendapat 10.000 real.
Monumen Perjanjian Giyanti; Karanganyar
Monumen Perjanjian Giyanti; Karanganyar
(Dokumentasi Pribadi Saya yang Diambil di Waktu Berbeda)
Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 ini secara resmi mengakhiri kisah Mataram Islam. Wilayah Mataram mulai terbagi menjadi 2 kerajaan. Wilayah Pakubuwana III mulai dikenal sebagai Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan wilayah Hamengkubuwana I adalah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Bagi VOC sendiri perjanjian ini bermanfaat untuk mengurangi pemberontak dengan menarik Pangeran Mangkubumi ke pihaknya sekaligus untuk semakin memperkuat perlawanan terhadap Raden Mas Said.

Perjalanan kami kembali berlanjut usai menjelajahi area Museum Keraton Surakarta. Kami kembali berjalan kaki kembali ke tempat parkir bus. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk kembali duduk di bangku bus. Kemudian bus yang kami gunakan segera bergerak meninggalkan kawasan Keraton Surakarta Hadiningrat menuju destinasi selanjutnya.


Istana Mangkunegaran dan Saktinya Pangeran Sambernyawa


Destinasi kami selanjutnya adalah menuju Istana Mangkunegaran yang letaknya tidak terlalu jauh dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Kami sampai pada tengah hari sehingga sebelum masuk, terlebih dahulu kami melaksanakan ibadah Sholat Dzuhur di mushalla yang ada dan makan siang di depan pintu masuk.
Istana Mangkunegaran & Kak @Raniajaah
Istana Mangkunegaran didirikan pada tahun 1757 dan kisahnya masih ada hubungannya dengan perjalanan sejarah Kerajaan Mataram Islam sebelumnya. Istana ini didirikan oleh Raden Mas Said yang saat itu adalah Mangkunegara I. Sebelumnya Raden Mas Said begitu gencar melakukan perlawanan terhadap Mataram yang dilindungi oleh VOC karena memang sejak awal menentang VOC. Perlawanan Raden Mas Said terhadap VOC menjadikan beliau kini sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia.
Lambang Mangkunegaran
Lambang Mangkunegaran
Usai perjanjian Giyanti, Raden Mas Said tetap gencar melakukan perlawanan terhadap Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan VOC. Meskipun berhadapan dengan 3 kubu sekaligus, Raden Mas Said tidak juga mampu dikalahkan, bahkan malah mendapat julukan Pangeran Sambernyawa karena setiap pertempuran yang melibatkannya selalu saja menjatuhkan banyak korban jiwa.
Kantor Walikota Salatiga, Tempat Perjanjian Salatiga
Meski tak terkalahkan, Pengeran Sambernyawa juga tidak mampu untuk mengalahkan 1 dari ketiga pihak tersebut sehingga gejolak peperangan 4 kubu ini tidak meghasilkan pemenang. Guna meredam pertempuran, maka dilakukan perjanjian kembali. Kali ini perjanjian ditujukan terhadap Pangeran Sambernyawa. Perjanjian ini dilakukan pada tanggal 17 Maret 1757 di Salatiga sehingga dinamai Perjanjian Salatiga.
Mataram yang Tercerai Berai
Sumber Gambar: 
https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Giyanti
Melalui Perjanjian Salatiga, Pangeran Sambernyawa kemudian mendapatkan wilayah kekuasaan yaitu sebagian dari Kasunanan Surakarta dan wilayah Ngawen milik Kasultanan Yogyakarta dan bergelar Mangkunegara I. Status dari wilayah Pangeran Sambernyawa sendiri adalah kadipaten otonom yaitu Kadipaten Mangkunegaran, bukan kerajaan seperti Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian ini ditandatangani oleh Pangeran Sambernyawa, Kasunanan Surakarta, VOC, dan Kasultanan Yogyakarta di tempat yang sekarang menjadi kantor Walikota Salatiga.
Pendopo Istana Mangkunegaran
Pendopo Istana Mangkunegaran
Ornamen Eropa
Kami menjelajah Istana Mangkunegaran dengan didampingi oleh pemandu dari pihak keraton. Selain pendopo dari Istana Mangkunegaran yang merupakan joglo terbesar di Pulau Jawa, banyak terdapat ornamen-ornamen khas Eropa yang langsung didatangkan dari sana oleh para penguasa Mangkunegaran ini. Sekitar pukul 14.45 WIB kami meninggalkan Istana Mangkunegaran.


Perjalanan Kedua Selesai

Sebenarnya perjalanan kami usai dari Istana Mangkunegaran adalah menuju petilasan Keraton Kartasura. Akan tetapi karena benang merah sejarah dari peradaban Mataram Islam adalah terlebih dahulu di Kartasura, maka postingan ini pun dimulai dari Keraton Kartasura. Kembali lagi di saat kami selesai mengunjungi lokasi Jebolan Pecinan di petilasan Keraton Kartasura. Rombongan kemudian kembali berkumpul di Bangsal Palerman untuk berdiskusi mengenai benang merah sejarah peradaban Mataram Islam.

Bus kami mulai bergerak menuju Yogyakarta sekitar pukul 17.00 WIB. Kami kembali dengan membawa pengetahuan baru mengenai kelanjutan dari kisah sejarah Mataram Islam usai pindah dari Keraton Pleret yang kami kunjungi sehari sebelumnya. Perjalanan panjang kami di Kartasura, Surakarta, dan Mangkunegaran kali ini memang sudah selesai, namun bukan berarti rangkaian acara Jelajah Peradaban Mataram Islam telah selesai. Masih ada penjelajahan yang akan kami lakukan….

PERJALANAN PUN MASIH BERLANJUT….. >>>> LANJUTAN
Anggara Wikan Prasetya
Perkenalkan, Anggara Wikan Prasetya, pemilik Menggapai Angkasa.

Related Posts

Posting Komentar