Konten [Tampil]
Latar atau setting berupa waktu dari postingan
ini adalah di Hari Minggu tanggal 15 Oktober 2017. Perjalanan kali ini masih
merupakan rangkaian dari acara Jelajah Peradaban Mataram Islam yang diadakan
oleh Komunitas Malam Museum. Jika satu hari sebelumnya kami melakukan
PENJELAJAHAN PERADABAN MATARAM ISLAM DI KOTAGEDE-KERTO-PLERET, kali ini
penjelajahan terhadap peradaban Mataram Islam kami lakukan di Kartasura,
Surakarta, dan Mangkunegaran.
Istana Mangkunegaran, Salah Satu Destinasi Kami |
Benang Merah yang Terbalik
Pagi itu hampir sama
seperti satu hari sebelumnya, kami kembali berkumpul di Gelanggang Mahasiswa di
jam yang sama untuk melakukan registrasi sebelum berangkat. Waktu keberangkatan
kami pun sama dengan sebelumnya yaitu sekitar pukul 08.00 WIB. Bus yang kami
gunakan dalam perjalanan kali ini juga sama dengan sebelumnya, bahkan
penempatan peserta yang sudah mengikuti rangkaian acara sehari sebelumnya juga
sama.
Briefing oleh Bung @Erwindeje dari @malamuseum |
Sebenarnya urutan destinasi dalam perjalanan
kami kali ini sama dengan judul postingan ini dengan Kartasura sebagai
destinasi awal. Urutan tersebut didasarkan pada sejarah Kerajaan Mataram Islam
yang sebenarnya usai Amangkurat II berhasil memadamkan pemberontakan Trunojoyo
dan kembali merebut Mataram dengan bantuan VOC. Setelah itu Amangkurat II
memindahkan pusat Kerajaan Mataram Islam ke Kartasura.
Dipandu Mbak Uzy |
Akan tetapi ternyata perjalanan kami hari ini
tidak sesuai dengan apa yang direncanakan. Sesaat sebelum berangkat, panitia
menjelaskan bahwa Kartasura akan menjadi destinasi terakhir karena jam buka
dari Keraton Surakarta dan Mangkunegaran hanya sampai jam 3 sore saja. Urutan
perjalanan memang menjadi Surakarta-Mangkunegaran-Kartasura, akan tetapi
postingan ini akan tetap menggunakan urutan Kartasura-Surakarta-Mangkunegaran.
Hal yang perlu diperhatikan adalah penjelasan mengenai waktu supaya tidak
membingungkan.
Keraton Keempat di Hutan Karta
Petilasan Keraton Kartasura |
Sekitar pukul 15.20
WIB kami tiba di petilasan Keraton Kartasura. Tempat ini tidak terlalu dikenal
oleh masyarakat luas karena bukanlah obyek wisata andalan seperti Keraton
Surakarta dan Mangkunegaran. Lokasi dari petilasan Keraton Kartasura ada di
Kartasura; Kabupaten Sukoharjo. Bangunan keraton juga sudah tidak ada di situs
Keraton Kartasura ini, hanya ada dinding bata yang dulunya merupakan benteng
keraton.
Letak Petilasan Keraton Kartasura
Setibanya kami di petilasan Keraton Kartasura,
kami dikumpulkan di Bangsal Palerman yang merupakan penanda bahwa dulunya di
sini terdapat sebuah Bangsal Pasewakan; bagian dari Keraton Kartasura. Bangsal
Palerman ini bukanlah bagian Keraton Kartasura karena baru dibangun pada tahun
1826 pada pemerintahan Pakubuwono IX dan X. Kami dipandu oleh Bapak Surya
Lesmana, putera dari juru kunci petilasan Keraton Kartasura. Beliau menjelaskan
kepada kami mengenai sejarah dari Keraton Kartasura sewaktu masih berdiri.
Bangsal Palerman di Petilasan Keraton Kartasura |
Seperti
yang sudah dijelaskan tadi, bangunan keraton sudah tidak ada dan hanya ada
dinding bata melingkar bekas benteng keraton. Bagian dalam benteng kini sudah
berubah menjadi permukiman warga. Sebagian area di dalam benteng Keraton
Kartasura lainnya kini juga adalah berupa pemakaman luas yang membentang dari
tengah hingga ke barat.
Lambang Surakarta Hadiningrat |
Benteng yang masih
berdiri merupakan benteng Sri Manganti seluas 2,5 hektar atau benteng bagian
dalam. Konstruksi benteng terbuat dari batu bata merah. Konon dahulu tingginya
mencapai 6 meter dengan ketebalan 2 meter. Sementara itu benteng bagian luar
atau Benteng Baluwarti sudah nyaris tidak bersisa. Sekarang benteng yang ada
tidak terlalu tinggi karena telah mengalami kerusakan akibat dimakan usia.
Singkatnya Masa Pemerintahan Amangkurat III
Sebelum dibangun keraton,
Kartasura merupakan sebuah hutan yang bernama Wanakarta atau Hutan Karta. Tidak
diketahui mengapa Amangkurat II memilih Wanakarta sebagai lokasi pendirian
keraton selanjutnya. Menurut berbagai sumber thesis, salah satu kemungkinanya
adalah karena hasil bertapa. Pembangunan Keraton Kartasura berlangsung cepat,
yaitu dari Januari dan selesai pada Bulan September 1680. Begitu selesai,
Amangkurat II langsung menempati Keraton Kartasura.
Amangkurat II Sumber Foto: http://keraton.perpusnas.go.id/node/122 |
Amangkurat II bertahta selama 23 tahun. Setelah
wafat, raja selanjutnya adalah puteranya bernama Sunan Mas Sutikna yang
bergelar Amangkurat III. Masa pemerintahan Amangkurat III hanya sebentar saja
yaitu dari tahun 1703 hingga 1705 masehi. Singkatnya masa pemerintahan
Amangkurat III salah satunya karena kutukan Amangkurat I kepada anaknya;
Amangkurat II saat dia diberi air kelapa beracun bahwa kelak keturunan dari Amangkurat II tidak akan
ada yang menjadi raja kecuali seorang saja (Amangkurat III) dan itu pun hanya
sebentar.
Singkatnya masa pemerintahan Amangkurat III juga
dikarenakan terjadi perlawanan yang dilakukan oleh Pangeran Puger (adik
Amangkurat II /paman Amangkurat III). Pangeran Puger mengangkat dirinya sebagai
Raja Mataram dengan gelar Paku Buwana Senapati ing Ngalaga Ngabrurrahman
Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa atau lebih dikenal sebagai
Pakubuwana I.
Pakubuwana I Sumber Foto: http://keraton.perpusnas.go.id/node/127 |
Dukungan terhadap Pakubuwana I untuk menduduki
tahta kerajaan begitu besar, termasuk dari pihak VOC. Amangkurat III pun tidak
berdaya dalam menghadapi kubu Pakubuwana I, meskipun dia dibantu oleh Untung
Suropati yang sangat memusuhi VOC. Amangkurat III akhirnya dapat ditangkap dan
kemudian dibuang ke Ceylon (Sri Lanka). Tahta kerajaan pun diduduki oleh
Pakubuwana I yang memerintah dari tahun 1704 hingga 1719 masehi. Setelah
Pakubuwana I wafat, pemerintahan di Kartasura dilanjutkan oleh Raden Mas
Suryaputra bergelar Amangkurat IV.
Badai Pemberontakan Terhadap Amangkurat IV
Amangkurat
IV memerintah dari tahun 1719 hingga 1726 masehi. Pemberontakan yang dihadapi
oleh Amangkurat IV adalah dari saudaranya sendiri; sesama putera dari
Pakubuwana I antara lain dari Pangeran Arya Dipanegara, Pangeran Blitar, dan
Pageran Purbaya. Pemberontakan lainnya dilakukan oleh pamannya sendiri yaitu Arya
Mataram yang mengangkat diri sebagai raja di Pati.
Banyaknya pihak
pemberontak membuat masyarakat Jawa kian terpecah belah. Banyak meletus
peperangan antara pihak Amangurat IV dengan para pemberontak. Amangkurat IV
dengan bantuan VOC akhirnya satu per satu berhasil menumpas pemberontakan.
Amangkurat IV wafat pada tanggal 20 April 1726 karena diracun dan digantikan
oleh putranya yaitu Raden Mas Prabasuyasa yang bergelar Sri Susuhunan
Pakubuwana II. Saat naik tahta, Pakubuwana II baru berusia 15 tahun.
Pakubuwana II Sumber Foto: https://id.wikipedia.org/wiki/Pakubuwana_II |
Hancurnya Keraton Kartasura
Usia dari Keraton
Kartasura tidaklah panjang, yaitu hanya 65 tahun sejak didirikannya. Peristiwa
pemberontakan besar yang sampai menghancurkan Keraton Kartasura ini terjadi
pada masa pemerintahan Pakubuwana II. Pemberontakan besar ini dilakukan oleh
orang-orang Tionghoa sehingga dikenal dengan Geger Pecinan. Awal dari
pemberontakan ini adalah karena terjadinya pembantaian terhadap etnis Tionghoa
yang dilakukan oleh VOC di Batavia.
Ilustrasi Geger Pecinan di Batavia Sumber Foto: https://id.wikipedia.org/wiki/Geger_Pacinan |
Pelarian etnis Tionghoa kemudian bergerak ke
arah timur dan meminta bantuan Pakubuwana II untuk memerangi VOC. Awalnya
Pakubuwana II mendukung para etnis Tionghoa ini untuk melawan VOC, akan tetapi pada
akhirnya balik mendukung VOC setelah Cakraningrat IV dari Madura turut membantu
VOC. Hal ini memicu kekecewaan dari banyak pihak; bukan hanya kaum Tionghoa,
tetapi masyarakat Jawa yang membenci VOC. Oleh karena itu mereka kemudian
mengangkat Raden Mas Garendi (cucu Amangkurat III) sebagai pemimpin.
Para pemberontak pun menyerang Keraton Kartasura
secara besar-besaran. Serangan tersebut mampu menembus pertahanan dan
menghancurkan Keraton Kartasura sehingga membuat Pakubuwana II melarikan diri
ke Ponorogo. Raden Mas Garendi diangkat menjadi raja oleh para pemberontak
dengan gelar Amangkurat V. Pakubuwana II menghimpun kekuatan di Ponorogo
kemudian dengan bantuan VOC dia berhasil kembali menguasai Keraton Kartasura.
Sama seperti Keraton Pleret yang tercemar setelah diduduki Trunojoyo, Keraton
Kartasura selain hancur juga turut tercemar akibat pendudukan oleh Raden Mas
Garendi ini. Oleh karena itu Pakubuwana II memutuskan untuk membangun keraton
baru yang sekarang ini adalah Keraton Surakarta Hadiningrat.
Petilasan Keraton Kartasura
Setelah Pakubuwana II
pindah ke Keraton Surakarta Hadiningrat, Keraton Kartasura ditinggalkan begitu
saja. Lama berselang, area keraton kembali berubah menjadi hutan bernama Hutan
Keraton yang banyak terdapat menjangan. Pencarian kembali keberadaan Keraton
Kartasura dilakukan pada tahun 1811 atas perintah Raja Surakarta saat itu. Proses
pembersihan memakan waktu 5 tahun, sementara menjangan-menjangan yang ada
dikumpulkan dan dipindahkan ke Kandang Menjangan (sekarang adalah RPKAD kopasus
yang didirikan tahun 1962).
Pohon Kleco yang Langka Konon Merupakan Saksi Hidup Masa Jaya Keraton Kartasura |
Setelah proses pembersihan selesai, ternyata
bangunan keraton yang tersisa hanyalah benteng. Kemudian dari Keraton Surakarta
ditunjuklah juru kunci untuk menjaga petilasan Keraton Kartasura ini. Atas
perintah Raja Surakarta pula didirikan sebuah kompleks pemakaman di petilasan Keraton Kartasura ini sebagai tanda matinya Keraton Kartasura yang
sudah tidak digunakan lagi.
Pemakaman yang Dulunya Dalem Ageng Keraton Kartasura |
Selain peninggalan berupa benteng, terdapat
peninggalan peristiwa penyerbuan yang dikenal dengan Geger Pecinan tersebut. Kami
diantar oleh Pak Surya Lesmana untuk menuju tempat Jebolan Pecinan berada.
Jalan yang kami lalui berada di tengah kompleks pemakaman. Dulunya kompleks
pemakaman yang kami lalui ini merupakan Dalem Ageng atau tempat tinggal raja.
Perjalanan yang dilakukan bersama rombongan membuat suasana di tengah pemakaman
tidak begitu menyeramkan.
Petilasan Kamar Raja di Keraton Kartasura |
Saat berjalan menuju lokasi Jebolan Pecinan,
kami melewati sebuah petilasan berupa 2 buah batu yang ditutupi oleh kain
berwarna pink. Petilasan ini dulunya adalah kamar tidur raja sewaktu Keraton
Kartasura masih digunakan. Perjalanan menuju lokasi Jebolan Pecinan tidak lagi
jauh dari sini, yaitu tinggal berjalan melewati semak-semak ke arah utara dari
petilasan kamar tidur raja.
Jalan Menuju Jebolan Pecinan |
Kami
pun tiba di lokasi Jebolan Pecinan di dinding sebelah utara di mana terdapat
sebuah lubang besar yang dibuat oleh para pemberontak pada peristiwa Geger
Pecinan pada masa lalu. Lubang dinding ini sekarang tidak sepenuhnya berlubang
karena telah dibangun sebuah tembok baru di bagian luar guna mencegah orang
supaya tidak dengan bebas keluar-masuk melalui lubang tersebut untuk menjaganya
agar tidak rusak.
Sebenarnya lokasi ini
merupakan lokasi bersejarah yang sudah dikenal oleh para sejarawan hingga manca
negara. Akan tetapi sayangnya minimnya pendanaan membuat lokasinya menjadi
kurang terawat. Kondisi jalan setapak kini telah ditumbuhi oleh rerumputan yang
tinggi sehingga cukup menyulitkan pengunjung. Andai saja lokasi ini terawat dan
disediakan jalan khusus menuju Jebolan Pecinan, tentu hal ini akan mempermudah
pengunjung yang ingin mempelajari sejarah Keraton Kartasura.
Lokasi Jebolan Pecinan |
Perjalanan kami menjelajahi Keraton Kartasura
ini pun selesai dan menurut jadwal, perjalanan kami hari ini berakhir di sini.
Akan tetapi menurut benang merah, perjalanan kami seharusnya menuju Keraton Surakarta yang merupakan peninggalan
peradaban Mataram Islam setelah Keraton Kartasura. Oleh karena itu, catatan
yang ditulis selanjutnya akan sedikit flash back kembali ke pukul 10.00 WIB
saat kami tiba di kawasan Keraton Surakarta.
Welcome to Surakarta
Minum Jamu Dulu |
Setelah perjalanan
yang memakan waktu kurang-lebih 2 jam dari Gelanggang Mahasiswa Universitas
Gadjah Mada, akhirnya kami sampai di kawasan Keraton Surakarta di Kota
Solo/Surakarta. Bus yang kami gunakan parkir di sebelah timur alun-alun utara
Keraton Surakarta. Kami harus berjalan kaki untuk sampai di Keraton Surakarta. Kondisi
saat itu cukup ramai karena Keraton Surakarta merupakan destinasi wisata utama
Kota Surakarta.
Jalan Kaki Menuju Keraton Surakarta |
Selanjutnya kami mulai berjalan menuju keraton
melalui jalan aspal menyusuri Supit Urang. Jalanan yang kami lewati saat itu
dilalui kendaraan yang cukup banyak sehingga kami harus berhati-hati. Sekitar
pukul 10.30 WIB kami sampai di bagian depan Keraton Surakarta atau Kori
Kamandungan Lor. Pintu masuk menuju keraton berada di sisi timur sehingga kami
masih harus sedikit berjalan kaki lagi.
Kori Kamandungan Lor Keraton Surakarta |
Kami akhirnya tiba di pintu masuk pengunjung
Keraton Surakarta. Rombongan besar kembali dipecah menjadi 3 seperti saat
kunjungan di KOTAGEDE sehari sebelumnya. Masing-masing rombongan didampingi
oleh seorang pemandu yang disediakan oleh pihak keraton. Area Keraton Surakarta
yang terbuka bagi pengunjung hanyalah pelataran kedaton dan museum. Kami
mengunjungi pelataran terlebih dahulu. Sebelum memasuki pelataran kami harus
melepas topi dan sandal karena peraturan untuk memasuki pelataran adalah
dilarang memakai topi, kaca mata, sandal, dan rok/celana pendek.
Pemandu Kami di Keraton Surakarta |
Surakarta; Keraton Terakhir Mataram Islam
Kami mulai memasuki
kawasan pelataran. Saya sendiri harus melepas sepatu sandal untuk mengikuti
peraturan yang berlaku. Kawasan pelataran ini berupa sebuah halaman luas dengan
pasir sebagai tanahnya. Pasir ini ada karena dulunya Keraton Surakarta adalah
rawa sehingga harus ditutup dengan pasir. Pelataran ini ditumbuhi oleh pohon sawo kecik yang memiliki makna
filosofis Sarwo Becik atau serba
baik. Terdapat pula ornamen-ornamen bergaya khas eropa pada beberapa bagian
bangunan keraton yang merupakan hadiah dari raja-raja Eropa.
Pohon-Pohon Sawo Kecik di Pelataran |
Ornamen Khas Eropa |
Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa Sumber Foto: https://www.kaskus.co.id/thread/516e29b68327cfaa3100000f/sejarah-perjuangan-raden-mas-said/ |
Raden Mas Sujana atau Pangeran Mangkubumi
sebenarnya berhasil merebut tanah Sukowati. Akan tetapi suatu ketika datanglah
seorang gubernur jenderal VOC bernama Baron van Imhof. Kedatangannya kian
memperkeruh suasana karena dia mendesak Pakubuwana II untuk menyerahkan pesisir
utara kepada VOC sebesar 20.000 real untuk melunasi hutang perang. Hal tersebut
ditentang oleh Pangeran Mangkubumi sehingga terjadi pertengkaran yang mana kemudian Baron van Imhof menghinanya di depan umum. Pangeran Mangkubumi yang sakit hati
meninggalkan Surakarta pada Bulan Mei 1976 dan begabung dengan Raden Mas Said.
Titik Nadir hingga Akhir Mataram Islam
Selanjutnya terjadi
pertempuran-pertempuran antara Mataram yang didukung VOC dengan aliansi Pangeran
Mangkubumi-Raden Mas Said. Pakubuwana II kemudian wafat pada tanggal 20
Desember 1749 karena sakit. Sebelum meninggal, Pakubuwana II menyerahkan
kedaulatan kerajaan sepenuhnya kepada VOC sebagai pelindung Mataram melalui
perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 11 Desember 1749.
Bisa dibilang pada masa pemerintahan Pakubuwana
II, Mataram Islam berada di titik terendahnya. Kedaulatan kerajaan pun mulai
hilang sejak ditandatanganinya perjanjian tanggal 11 Desember 1749 tersebut
karena setelahnya hanya VOC yang berhak melantik raja-raja keturunan Mataram
hingga kemerdekaan Indonesia. Sebelumnya pada tahun 1743 pun telah diadakan
sebuah perjanjian bahwa mahapatih kerajaan ketika dipilih atau diturunkan harus
dengan restu VOC. Kedudukan raja pun statusnya hanya sebagai Leenman atau peminjam kekuasaan kumpeni.
Raden Mas Suryadi yang merupakan anak Pakubuwana II kemudian diangkat oleh VOC menjadi
raja selanjutnya dengan gelar Pakubuwana III.
Pangeran Mangkubumi atau Hamengkubuwono I Sumber Foto: https://alchetron.com/Hamengkubuwono-I-943943-W |
Aliansi Raden Mas Said dengan Pangeran Mangkubumi
mengalami perpecahan pada tahun 1752 karena masalah perebutan kekuasaan. VOC
kemudian menawarkan perundingan damai dengan Pangeran Mangkubumi. Puncak dari
perundingan damai tersebut adalah Perjanjian Giyanti yang dilakukan pada
tanggal 13 Februari 1755 di Desa Janti, Kecamatan Jantiharjo, Karanganyar. Isi dari perjanjian tersebut adalah mengakui Pangeran
Mangkubumi sebagai Hamengkubuwana I dengan wilayah setengah dari kekuasaan
Pakubuwana III, sedangkan wilayah pesisir utara disewa oleh VOC dengan harga 20.000
real yang mana Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi masing-masing mendapat
10.000 real.
Monumen Perjanjian Giyanti; Karanganyar (Dokumentasi Pribadi Saya yang Diambil di Waktu Berbeda) |
Perjanjian
Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 ini secara resmi mengakhiri kisah Mataram
Islam. Wilayah Mataram mulai terbagi menjadi 2 kerajaan. Wilayah Pakubuwana III
mulai dikenal sebagai Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan wilayah
Hamengkubuwana I adalah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Bagi VOC sendiri
perjanjian ini bermanfaat untuk mengurangi pemberontak dengan menarik Pangeran
Mangkubumi ke pihaknya sekaligus untuk semakin memperkuat perlawanan terhadap
Raden Mas Said.
Perjalanan kami
kembali berlanjut usai menjelajahi area Museum Keraton Surakarta. Kami kembali
berjalan kaki kembali ke tempat parkir bus. Tak butuh waktu lama bagi kami
untuk kembali duduk di bangku bus. Kemudian bus yang kami gunakan segera
bergerak meninggalkan kawasan Keraton Surakarta Hadiningrat menuju destinasi
selanjutnya.
Istana Mangkunegaran dan Saktinya Pangeran Sambernyawa
Destinasi kami
selanjutnya adalah menuju Istana Mangkunegaran yang letaknya tidak terlalu jauh
dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Kami sampai pada tengah hari sehingga
sebelum masuk, terlebih dahulu kami melaksanakan ibadah Sholat Dzuhur di
mushalla yang ada dan makan siang di depan pintu masuk.
Istana Mangkunegaran & Kak @Raniajaah |
Istana Mangkunegaran didirikan pada tahun 1757
dan kisahnya masih ada hubungannya dengan perjalanan sejarah Kerajaan Mataram
Islam sebelumnya. Istana ini didirikan oleh Raden Mas Said yang saat itu adalah
Mangkunegara I. Sebelumnya Raden Mas Said begitu gencar melakukan perlawanan
terhadap Mataram yang dilindungi oleh VOC karena memang sejak awal menentang
VOC. Perlawanan Raden Mas Said terhadap VOC menjadikan beliau kini sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia.
Lambang Mangkunegaran |
Usai perjanjian Giyanti, Raden Mas Said tetap
gencar melakukan perlawanan terhadap Kasunanan Surakarta, Kasultanan
Yogyakarta, dan VOC. Meskipun berhadapan dengan 3 kubu sekaligus, Raden Mas
Said tidak juga mampu dikalahkan, bahkan malah mendapat julukan Pangeran Sambernyawa karena setiap pertempuran yang melibatkannya selalu saja menjatuhkan
banyak korban jiwa.
Kantor Walikota Salatiga, Tempat Perjanjian Salatiga |
Meski tak terkalahkan, Pengeran Sambernyawa
juga tidak mampu untuk mengalahkan 1 dari ketiga pihak tersebut sehingga
gejolak peperangan 4 kubu ini tidak meghasilkan pemenang. Guna meredam
pertempuran, maka dilakukan perjanjian kembali. Kali ini perjanjian ditujukan
terhadap Pangeran Sambernyawa. Perjanjian ini dilakukan pada tanggal 17 Maret
1757 di Salatiga sehingga dinamai Perjanjian Salatiga.
Melalui Perjanjian Salatiga, Pangeran Sambernyawa kemudian mendapatkan wilayah kekuasaan yaitu sebagian dari Kasunanan
Surakarta dan wilayah Ngawen milik Kasultanan Yogyakarta dan bergelar
Mangkunegara I. Status dari wilayah Pangeran Sambernyawa sendiri adalah
kadipaten otonom yaitu Kadipaten Mangkunegaran, bukan kerajaan seperti
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Perjanjian ini ditandatangani
oleh Pangeran Sambernyawa, Kasunanan Surakarta, VOC, dan Kasultanan Yogyakarta
di tempat yang sekarang menjadi kantor Walikota Salatiga.
Kami menjelajah Istana Mangkunegaran dengan
didampingi oleh pemandu dari pihak keraton. Selain pendopo dari Istana
Mangkunegaran yang merupakan joglo terbesar di Pulau Jawa, banyak terdapat
ornamen-ornamen khas Eropa yang langsung didatangkan dari sana oleh para
penguasa Mangkunegaran ini. Sekitar pukul 14.45 WIB kami meninggalkan Istana
Mangkunegaran.
Sebenarnya perjalanan
kami usai dari Istana Mangkunegaran adalah menuju petilasan Keraton Kartasura.
Akan tetapi karena benang merah sejarah dari peradaban Mataram Islam adalah
terlebih dahulu di Kartasura, maka postingan ini pun dimulai dari Keraton
Kartasura. Kembali lagi di saat kami selesai mengunjungi lokasi Jebolan Pecinan
di petilasan Keraton Kartasura. Rombongan kemudian kembali berkumpul di Bangsal
Palerman untuk berdiskusi mengenai benang merah sejarah peradaban Mataram
Islam.
Bus kami mulai bergerak menuju Yogyakarta sekitar pukul 17.00 WIB. Kami kembali dengan membawa pengetahuan baru mengenai kelanjutan dari kisah sejarah Mataram Islam usai pindah dari Keraton Pleret yang kami kunjungi sehari sebelumnya. Perjalanan panjang kami di Kartasura, Surakarta, dan Mangkunegaran kali ini memang sudah selesai, namun bukan berarti rangkaian acara Jelajah Peradaban Mataram Islam telah selesai. Masih ada penjelajahan yang akan kami lakukan….
PERJALANAN PUN MASIH BERLANJUT….. >>>> LANJUTAN
Mataram yang Tercerai Berai Sumber Gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Giyanti |
Pendopo Istana Mangkunegaran |
Ornamen Eropa |
Perjalanan Kedua Selesai
Bus kami mulai bergerak menuju Yogyakarta sekitar pukul 17.00 WIB. Kami kembali dengan membawa pengetahuan baru mengenai kelanjutan dari kisah sejarah Mataram Islam usai pindah dari Keraton Pleret yang kami kunjungi sehari sebelumnya. Perjalanan panjang kami di Kartasura, Surakarta, dan Mangkunegaran kali ini memang sudah selesai, namun bukan berarti rangkaian acara Jelajah Peradaban Mataram Islam telah selesai. Masih ada penjelajahan yang akan kami lakukan….
PERJALANAN PUN MASIH BERLANJUT….. >>>> LANJUTAN
Posting Komentar
Posting Komentar